Bencana

La Nina Tiba Lebih Cepat

Share

JAKARTA, Dupanews.id – Penguatan indeks La Nina tahun ini menunjukkan perkembangan lebih cepat dibandingkan tahun lalu sehingga dampak penambahan intensitas hujan bisa lebih cepat terjadi yang membuat risiko banjir atau longsor datang lebih awal. Namun demikian, La Nina bukan faktor satu-satunya yang memicu ekstremitas cuaca di Indonesia.

Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Supari, di Jakarta, Sabtu (6/11) mengatakan, penguatan indeks La Nina kali ini relatif lebih cepat dibandingkan tahun lalu. Jika pada 2020, La Nina diumumkan pada Agustus dan menjadi moderat pada Oktober, tahun ini La Nina baru diumumkan awal Oktober yang di dasarian dua bulan yang sama indeksnya sudah melewati minus satu.

“Awal November ini, kekuatan La Nina kemungkinan sudah menjadi moderat kalau lihat tren penurunan suhu di Samudera Pasifik. Perubahan La Nina menuju fase moderat yang lebih cepat ini secara teori menyebabkan dampaknya akan lebih cepat dirasakan,” kata Supari.

Berkebalikan dengan fenomena El Nino yang menyebabkan kondisi iklim kering di Indonesia, kemunculan La Nina umumnya menyebabkan iklim basah. Maka, terjadinya La Nina yang berbarengan dengan awal musim hujan ini berpotensi meningkatkan intensitas hujan.

Menurut Supari, dampak El Nino maupun La Nina di Indonesia tidaklah seragam di sepanjang durasi kejadiannya. Begitupun secara keruangan, dampaknya bisa berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Supari dkk (2018) yang dipublikasikan di jurnal Climate Dynamics, jika La Nina menguat pada periode September-Oktober-November, peningkatan curah hujan umumnya terjadi di wilayah tengah dan timur Indonesia meliputi sebagian besar Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian timur, Sulawesi dan Maluku hingga Maluku Utara.

Pada periode Desember-Januari-Februari, dampak La Nina berupa peningkatan curah hujan hanya dirasakan di Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian utara, dan Maluku hingga Maluku Utara. Periode Maret-April-Mei, dampak La Nina teramati hanya terjadi di wilayah Bali, NTB, NTT, Sulawesi bagian selatan, Sulawesi bagian utara dan Maluku hingga Maluku Utara. Untuk wilayah-wilayah lain, curah hujan tidak mengalami anomali, bahkan beberapa lokasi justru menunjukkan pengurangan curah hujan.

Pola dan dampak La Nina memang bisa berubah. Namun, intensitas hujan tahun ini diperkirakan mirip tahun lalu, karena secara global ada gangguan serupa. Sekalipun demikian, hujan harian tidak bisa selalu disandarkan pada fenomena regional La Nina.

“La Nina lebih pada kondisi totalnya, misalnya secara kalau dirata-rata intensitas hujan di musim hujan lebih tinggi. Tetapi, banjir besarnya tidak terkait langsung La Nina. Justru bisa dipengaruhi oleh fenomena temporal lain, termasuk kemunculan gelombang ekuatorial,” kata dia.

Faktor lain :

Peneliti iklim BMKG Siswanto mengatakan, pergerakan Madden Julian Oscillation yang secara periodik membawa uap air dan gelombang ekuatorial seperti Rossby dan Kelvin juga berkontribusi menentukan ekstreimitas cuaca di Indonesia. Selain itu, ada sejumlah wilayah di Indonesia yang memiliki dinamika hujan lokal karena pengaruh topografinya, misalnya Luwu di Sulawesi Selatan yang kerap banjir di tengah tahun, saat daerah lain kemarau.

“Catatan kami, banjir besar di Jakarta pada tahun 2020 juga bukan disebabkan oleh La Nina. Jadi, banyak faktor lain yang berpengaruh, termasuk juga dampak dari krisis iklim yang meningkatkan ekstremitas cuaca,” kata Siswanto.

Siswanto mengatakan, saat ini ada kecenderungan terjadi hujan relatif pendek dengan durasi 1-3 jam, tetapi intensitasnya tinggi yang dipengaruhi oleh peningkatan suhu lokal. “Secara global, kenaikan suhu udara permukaan. 1 derajat celcius akan meningkatan 7 persen daya tangkap uap air di atmosfer, itu setara dengan 7 persen intensitas hujan. Namun, kajian kami di Jakarta peningkatannya bisa 14 persen. Jadi ada dobel,” kata dia.

Kenaikan daya tangkap uap air di atmosfer hingga dua kali lipat seperti di Jakarta ini juga ditemukan di Hongkong. “Ini kemungkinan ada pengaruh siklus hidrologi di wilayah tropis perkotaan yang  lebih kuat prosesnya, selain juga pengaruh berada di dekat pantai. Siklus awan menjadi hujan lebih cepat,” kata dia.

Siswanto menambahkan, sekalipun saat ini sudah ada peningkatan hujan dan terjadi banjir di sejumlah daerah, hingga kini belum ada hujan berintensitas sampai 100 mm dalam sehari. “Termasuk hujan yang memicu banjir di Batu beberapa hari lalu, intensitasnya belum ekstrem. Untuk terjadi banjir, faktornya juga tidak hanya hujan, namun juga tata kelola lingkungan,” kata dia.

Waspada Hujan Dinihari :

Sementara itu, peneliti klimatologi pada Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer-BRIN, Erma Yulihastin mengingatkan agar masyarakat di Jabodetabek mewaspadai hujan ekstrem pada dini hari, seperti terjadi tahun 2020 dan 2021 yang memicu banjir besar. Kajian Erma dan tim yang telah dipublikasikan di Journal of the Meteorological Society of Japan (JMSJ) pada 4 Oktober 2021 ini menemukan, hujan ekstrem pada dini hari ini berkait erat dengan aktivitas angin permukaan dari utara yang sangat kuat melintasi ekuator, atau disebut dengan Cross-Equatorial Northerly Surge (CENS).

Melalui sampel data 50 kejadian hujan dini hari selama musim hujan Januari-Februari pada tahun 2000-2019 di kawasan utara Jawa bagian barat, Erma menemukan bahwa angin dari utara yang kuat maupun lemah, sama-sama dapat memicu hujan dinihari di Jabodetabek. Jika angin dari utara kuat, maka propagasi hujan yang dominan terbentuk dari laut ke darat  yang berpengaruh mengonsentrasikan hujan di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya.

Jika angin ini lemah, propagasi hujan yang terbentuk merupakan kombinasi dari propagasi darat dan laut, juga mengonsentrasikan hujan di Jabodetabek. Kedua jenis propagasi hujan tersebut dapat terjadi karena mekanisme yang disebut “cold pool” dan gelombang gravitasi.(Kompas/sup)

https://www.facebook.com/dialog/feed?app_id=1806379142939079&display=popup&link=https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/08/antisipasi-dampak-penguatan-la-nina-yang-tiba-lebih-cepat%3Futm_source%3Dbebasakses_kompasid%26utm_medium%3Dfacebook_shared%26utm_content%3Dsosmed%26utm_campaign%3Dsharinglink&redirect_uri=https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/08/antisipasi-dampak-penguatan-la-nina-yang-tiba-lebih-cepathttps://twitter.com/share?via=hariankompas&related=hariankompas&text=Antisipasi%20Dampak%20Penguatan%20La%20Nina%20yang%20Tiba%20Lebih%20Cepat&url=https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/08/antisipasi-dampak-penguatan-la-nina-yang-tiba-lebih-cepat%3Futm_source%3Dbebasakses_kompasid%26utm_medium%3Dtwitter_shared%26utm_content%3Dsosmed%26utm_campaign%3Dsharinglinkhttps://api.whatsapp.com/send?text=Antisipasi%20Dampak%20Penguatan%20La%20Nina%20yang%20Tiba%20Lebih%20Cepat%20https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/08/antisipasi-dampak-penguatan-la-nina-yang-tiba-lebih-cepat%3Futm_source%3Dbebasakses_kompasid%26utm_medium%3Dwhatsapp_shared%26utm_content%3Dsosmed%26utm_campaign%3Dsharinglinkhttps://line.me/R/msg/text/?Antisipasi%20Dampak%20Penguatan%20La%20Nina%20yang%20Tiba%20Lebih%20Cepat%C2%A0https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/08/antisipasi-dampak-penguatan-la-nina-yang-tiba-lebih-cepat%3Futm_source%3Dbebasakses_kompasid%26utm_medium%3Dline_shared%26utm_content%3Dsosmed%26utm_campaign%3Dsharinglink

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button