Bebas

Antara Gestapu dan Gestok

Share
Oleh :Guntur Soekarno Putra Sulung Presiden Pertama RI dan Pemerhati Sosial.

Menyusul Partai Komunis Indonesia yang keblinger melakukan kudeta terhadap pemerin-tah atau Kabinet Dwikora yang dipimpin Presiden Soekarno, hingga lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar1966, gejolak politik terus terjadi.

Berbagai aksi demonstrasi yang menyerang Bung Karno sebagai Presiden,Pemimpin Besar Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat Indonesia terus melanda.Kondisi dan suasana politik dalam negeri saat itu memanas dan Negara Kesatuan Republik Indonesia laksana terkena sakit demam.

Kudeta pada 30 September 1965 (Gerakan 30S/PKI), yang oleh kalangan Orde Baru disebut Gestapu, menyergap energi seluruh komponen bangsa. Kelompok anti-PKI ini menyebut Gestapu karena dihubungkan dengan kekejaman Gestapo di era Nazi Jerman.

Istilah Gestapu oleh Bung Karno memang patut dikoreksi.Bagi Bung Karno, sebutan Gestok adalah kepanjangan dari Gerakan 1 Oktober.Dalam pidato di depan MPRS yang diberi judul ”Nawaksara”, Bung Karno pernah berkata, ”Gestok (Gerakan Satu Oktober) terjadi karena keblingernya pimpinan PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neokolonialisme dan Imperialisme), serta adanya oknum-oknum yang tidak benar.”Karena isi pidato ”Nawaksara” oleh MPRS belum dapat diterima, sebab dianggap belum lengkap, pada 10 Januari 1967 Bung Karno mengirim surat kepada pimpinan MPRS berupa pelengkap ”Nawaksara” yang didalam surat itu Bung Karno secara tegas mengutuk Gestok.

Mengapa Bung Karno mengoreksi istilah Gestapu? Karena, kenyataannya, pembunuhan terhadap para jenderal terjadi pada 1 Oktober 1965 dinihari,dan bukan 30 September 1965.Namun, persoalannya, padaperiode 1965-1968, komunikasi dan publikasi sudah mulai dikuasai para pendukung OrdeBaru,yang memobilisasi sebagian mahasiswa, pelajar, dan masyarakat serta sebagian kalangan militer untuk mendongkel Bung Karno dari kekuasaan.

Karena itu, koreksian Bung Karno sebagaimana diketahui mendapat kecaman dan hujat-an dari para pendukung OrdeBaru. Hujatan lewat berbagai aksi massa itu dibarengi tuntutan agar PKI dan organisasi massanya segera dibubarkan.

Aksi itu dikemas juga dengan tuntutan penurunan harga bahan pokok yang saat itu melonjak tinggi akibat inflasi ratusan persen atau disebut Tritura. Saat itu Bung Karno memang belum membubarkan PKI dan organisasi-organisasi massanya,seperti SOBSI, BTI, dan Lekra.Pasalnya, pasca-Gestok itu, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap anggota PKI dan organisasi massanya. Bahkan,juga pembunuhan terhadap para pendukung Bung Karno yang militan, seperti dari PNI Front Marhaenis dan Partindo.

Untuk itu, Bung Karno mengambil langkah terlebih dahulu dengan pembentukan Komite Pencari Fakta untuk mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi dan berapa jumlah korban yang jatuh.Jadi, bukan Bung Karno pilih kasih dan hanya mau membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.

 Bung Karno membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia setelah Bung Karno melalui Mr Roem meminta kepada pimpinan Partai Masyumi,yang ketua umumnya Moh Natsir, agar memecat semua anggota Masyumi yang terlibat pemberontakan PRRI.

Begitu pula dengan Partai Sosialis Indonesia, Bung Karno meminta kepada Syahrir agar memecat semua anggota PSI yang terlibat pemberontakan PRRI. Permintaan Bung Karno tersebut semuanya ditolak Moh Natsir ataupun Syahrir. Oleh sebab itulah, Bung Karno ”ter-paksa” membubarkan ke dua partai tersebut.

Pembubaran PKI pasti akan dilakukan Bung Karno jika memang sudah ada bukti yang pasti secara hukum. Pasca Supersemar, kewenangan PresidenSoekarno memang dipereteli perlahan-lahan oleh pengemban Supersemar dengan dukungan sebagian militer dan mahasiswa. Sementara usaha pemerintah untuk meluruskan peristiwa G30S/PKI sama sekali tak diberi kesempatan oleh berbagai anasir Orde Baru dengan bantuan CIA dan M1-6.

Buktinya, Presiden Soekarno sempat menunjuk Menteri Dalam Negeri Soemarno Sastroatmodjo sebagai Ketua Komite Pencari Fakta Peristiwa G30S/PKI, tapi tak bisa jalan.Untungnya, salah seorang anggotanya yang sangat vocal dan berani, yaitu Menteri Negara Oei Tjoe Tat, master hukum lulusan negeri Belanda,seorang kader dari Partai Indonesia (Partindo), tetap menjalankan tugasnya meskipun menghadapi berbagai kendala dan kesulitan. Baik Soemarno maupun Oei Tjoe Tat akhirnya ikut ditangkap bersama 13 menteri Soekarno lainnya.

Dalam buku memoarnya, Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Sukarno, (Hasta Mitra, 1998), Oei Tjoe Tat menulis betapa usaha-usaha dan kegiatan-kegiatannya di daerah-daerah selalu dihalang-halangi oleh aparat keamanan setempat.

 Meskipun demikian, dengan jalan menyamar dan lainnya, tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan cukup baik.Dari temuan yang ia peroleh saat itu, jumlah korban pem-bunuhan terhadap mereka yang dituduh PKI dan pendukung Soekarno berjumlah sekitar700.000 orang (Jawa dan Bali).Belum terhitung di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.

Dari hasil penemuan Komite Pencari Fakta, Bung Karno menangguhkan pembubaran PKI dengan pertimbangan belum dibubarkan saja korban yang jatuh sudah sedemikian besar,apalagi kalau dibubarkan.Dikhawatirkan akan jauh lebih besar lagi.

 Untuk itu, Bung Karno mengingatkan pengemban Supersemar agar konsekuen melaksanakan butir-butir dari Supersemar. Selain memulihkan ketenangan dan keamanan, juga menjalankan secara pasti ajaran-ajaran Pe-mimpin Besar Revolusi.

Namun, instruksi Presiden Soekarno tidak mendapat respons positif, apalagi dijalankan secara benar oleh pengemban Supersemar.

Peran dinas intelijen asing

Sejumlah penulis sebelumnya berpendapat bahwa peristiwa pembunuhan itu adalah hasil konspirasi. Lembaga intelijen asing, seperti CIA dan MI-6, adalah dalangnya. Lembaga intelijen ini berkoordinasi dengan segelintir tokoh militer terkemuka Indonesia sehingga lembaga asing tersebut telah mendorong pihak militer bertindak melawan PKI dan Bung Karno.

Lembaga itu sebelumnya memfasilitasi sejumlah kekerasan setelah upaya kudeta ter-hadap pemerintahan Soekarno,walaupun sebelumnya ada alasan untuk meragukan bahwa keseluruhan peristiwa ini adalah konspirasi asing.

 Beberapa tokoh yang dianggap mengambil peranan besar dalam kegiatan konspirasi ini adalah Dubes AS untuk Indonesia Marshall Green, Kepala Biro CIA diJakarta Hugh Tovar, serta agen J Foster Collins dan John TPizzicaro.

Dari pihak Inggris, AndrewGilchrist, yang dokumennya menyebutkan adanya ”our localarmy friends”. Dokumen ini telah menjebak PKI untuk melakukan kudeta prematur (Indo-nesia 1965: The Coup that back-fired, Geoffrey B Robinson).Selain peran dinas intelijen asing dalam kudeta premature dan pembunuhan ribuan anggota PKI dan organisasi ”kiri” lainnya, salah satu sebab mengapa PKI menjadi ”keblinger” dan melakukan kudeta prematur adalah karena DN Aidit sebagai Ketua PKI membuat sebuah organ semacam ”intelijen” yang bernama Biro Khu-sus. Biro ini dipimpin Syam Kamaruzaman, yang didirikan tanpa persetujuan dan pengetahuan komite sentral PKI sebagai badan tertinggi di internal.

Biro inilah yang informasinya sangat dipercaya oleh DNAidit, dan ternyata kebobolan karena dipengaruhi oleh badan-badan intelijen asing. Informasinya, Biro Khusus PKI mendengar adanya rencana kudeta oleh Dewan Jenderal.Karena itu, PKI melakukan kudeta sebelum Dewan Jenderal bergerak. Padahal, informasi itu tidak benar.

Itulah yang dikerjakan jaringan CIA dan MI-6 menjelang peristiwa G30S/PKI. Karena kecerobohan Biro Khusus dan DN Aidit,terjadilah korban hingga ratusan ribu orang. Di Bali saja, dalam waktu sebulan jatuh korban sebanyak 8.000 orang, termasuk gubernur Bali pendukung Bung Karno, Sutedja.

Pengemban Supersemar tentu tidak akan bersedia melaksanakan secara konsekuen bu-tir-butir surat perintah tersebut, jangankan menjalankan butir-butir Supersemar, istilah yang selalu digunakan oleh pengemban Supersemar adalah tetap Gestapu, bukan Gestok seperti koreksian Bung Karno.

Kudeta merangkak.

Untuk menjatuhkan BungKarno dari tampuk kekuasaan,menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, pengemban Supersemar melakukan kudeta merangkak atau perlahan-lahan, yang membuat Bung Karno terdongkel dari kekuasaan.

Setelah pidato pertanggung-jawaban Bung Karno ”Nawaksara” dan pelengkap ”Nawak-sara” ditolak MPRS yang saat itu diketuai AH Nasution, dengan keputusan MPRS Nomor 33 Tahun 1967, Bung Karno diberhentikan sebagai presiden dan dinyatakan langsung atau tidak langsung dapat diduga terlibat dalam G30S/PKI (Gestapu).

Ironisnya, dalam perkembangan selanjutnya, AH Nasution yang menolak pidato per-tanggungjawaban Presiden Soekarno dan korban yang lolos dari pembunuhan Gestapu akhirnya disingkirkan. Nasution pada akhirnya tidak berperan sama sekali dalam keneg-raan ataupun militer pasca-Soekarno jatuh.

Kini, manakah istilah yang benar dan akan kita gunakan:Gestok atau Gestapu? Yang pro kepada pengemban Supersemar pasti tetap akan memilih Gestapu. Namun, bagi mereka yang konsekuen mengikuti fakta sejarah dengan referensi dan literasi yang lengkap dan benar,yang benar adalah Gestok. (Artikel/tulisan dari Kompas) )(Sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button