Geliat Ekononi Semakin Pesat, Tapi Alam Terdegradasi
Kudus,Dupanews.id – Geliat ekonomi di Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus sangat pesat, seiring dengan semakin banyaknya jumlah warga yang berkunjung ke desa wisata ini. Namun mulai muncul kecemasan dengan kondisi alam yang semakin terdegradasi. Terutama menjamurnya aneka bentuk bangunan yang berada di kawasan Sungai Gelis- salah satu diantara sungai besar di Kabupaten Kudus yang panjangnya mencapai 33,05 kilometer dan berhulu di Gunung Muria wilayah Desa Rahtawu.” Untuk perizinan perlu sosialisasi dan pemahaman dari pihak terkait kepada warga pinggiran terutama dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juwana yang berwenang dengan kawasan sungai,” tutur Kepala Desa (Kades) Rahtawu, Rasmadi Didik Aryadi, dalam perbincangannya dengan Dupanews.id, Minggu, 21 Agustus 2022.
Dengan adanya sosialisasi dan pemahaman dari BBWS Pemali Juwana warga Desa Rahtawu pada umumnya – khususnya warga yang telah/akan membangun tempat usaha-kegiatan, maka akan mampu menahan laju niat warga- yang nampaknya sebagian besar belum mengerti.
Awalnya pemilik usaha – kegiatan, ramai ramai mengecat batuan besar dan sedang yang ada di sebagian Sungai Gelis dengan aneka macam warna. Muncul pro kontra- akhirnya mampu diselesaikan dengan baik- aneka cat warna warni dihapus dan dikembalikan pada posisi awal (alami).
Kemudian semakin banyak- tumbuh dan berkembangnya aneka macam bangunan-usaha, yang berada di tepi –hingga sebagian badan sungai. Bahkan banyak diantaranya bangunan permanen dari bahann kayu-bambu hingga semen.
Dalam laman Balai Pengelolan Sumber Daya Alam (BPSDA) Seluna ( nama sungai Serang, Lusi, Juwana) hanya disebutkan panjang Sungai Gelis, tapi tidak disertakan lebar sungai dan kedalamannya. Namun yang pasti hampir setiap tahun- terutama pada musim penghujan- terjadi banjir bandang,, jembatan rusak-putus hingga tanah longsor di wilayah Desa Rahtawu.
Penghijauan
Bencana alam tersebut memang tidak semata mata disebabkan adanya banyak bangunan yang ada di seputar Sungai Gelis, melainkan juga dari faktor lain. Seperti penghijauan. “Penghijauan masih sangat diperlukan. Kami, pemerintahan desa (Pemdes) Rahtawu mentargetkan luas penghijauan 700 hektar, tapi baru terealisir 300 hektar. Sumber penghijauan dari pemerintah maupun swasta.. Djarum misalnya yang nyaris rutin membantu.Selain pohon/bibit aneka macam buah-buahan, juga pohon tabebuya ketapang dan sebagainya” tambah Rasmadi Didik Aryadi.
Tidak dijelaskan tingkat kematian atau kehidupan berbagai jenis pohon penghijauan tersebut, namun menurut dia, dengan adanya penghijauan tersebut maka mata air utama Desa Rahtawu di sendang Bunton masih cukup terjaga debit airnya. Begitu pula sumber air yang lebih kecil- seperti : Tiyeng, Pakel, Alas Kobong, Belang, Krincing, Kalenmati,Gundi,Banteng, Ngesong,Jejoyo, Nglosot, Kali Wedus, Miren dan Kalipojok.
Menurut Adi Nugroho dan Mochmad Widjanarko dari Universitas Muria Kudus (UMK) dalam makalah “ Kajian Resiko dan Kerentaan Atas Kebijakan Pengurangan Resiko Bencana di Kawasan Pegunungan Muria”, untuk mengatasi ancaman banjir bandang dan tanah longsor, juga bisa dilakukan dengan penanaman hutan (yang telah gundul) kembali (reboisasi). Termasuk membangun talut pada tebing yang curam, membangun atap rumah dengan beton. Mencegah terjadinya penebangan liar di kawasan hutan. Menjaga agar lahan –lahan rawan bencana tidak diolah secara intensif untuk pertanian. Ada aturan yang patut dicontoh di Desa Colo Kecamatan Dawe, setiap pengantin baru harus setor minimal dua bibit/pohon ke pemerintahan desa- kemudian di tanam di lokasi yang membutuhkan,”
Gunung api maar.
Masih menurut Adi Nugroho dan Widjanarko, ancaman lain di kawasan Gunung Muria, juga datang dari gunung setinggi 1.602 meter di atas permukaan laut itu sendiri. Gunung ini termasuk salah jenis gunung berapi yang tengah tidur panjang .Atau Gunung Api Maar.
Meski tidak tergolong gunung api aktif, namun tetap memiliki potensi letusan. Jika terjadi perubahan proses geologi pada wilayah itu. Bentang alam semenanjung Muria terdiri : dataran,perbukitan dan pegunungan. Dimana proses geomorfologi dikontrol oleh kegiatan gunung api.
Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.Gunung api maar yang cekungan kawahnya tidak berisi air disebut maar kering.
Maar juga diartikan sebagai kerucut gunung api monogenesis yang memotongbatuandasar di bawah permukaan air tanah dan membentuk kerucut berpematang landai yang tersusun oleh rempah gunung api berbutir halus hingga kasar, mempunyai diameterkawah bervariasi antara 100 – 3000 m, yang sering terisi air sehingga membentukdanau (Bronto,2001; Cas & Wright, 1988)
Lalu berdasarkan “prosesi” SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11 PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRAHA SABHA PRAMANA: Penafsiran adanya reaktivasi sesar di Semenanjung Muria diindikasikan leh adanya dua gempa bumiyang terjadi dalam rentang waktu berdekatan, yakni pada bulan Mei 2018.
Reaktivasi sesar tersebut menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya aktivitas vulkanisme Maar yang sempat dinyatakan dalam kondisi nonaktif. Data kegempaan yang mencatat besar magnitude gempa 3.6 SR di TenggaraKabupaten Pati dengan kedalaman 8 km pada 12 Mei dan magnitude 4.3 SR di Semenanjung Muriapada 3 Mei, diindikasikan dapat memicu kegiatan vulkanisme di Semenanjung Muria.
Tercatat di zona tersebut beberapa kali telah mengalami kegempaan yang cukup signifikan pada 25 Desember 1821, 19Januari 1856, 12 Desember 1890, 23 Oktober 2015, 18 Juli 2016, 3 Mei 2018 , dan 12 Mei 2018.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan citra satelit dan data sekunder yang bertujuan untuk menganalisis potensi Vulkanisme Maar yang terjadi kembali di Semenanjung Muria. Berdasarkan analisis dari citra satelit, terdapat kenampakan lingkaran yang diindikasikan sebagai Maar.
Sedangkan berdasarkan analisis data sekunder berupa coring yang dilakukan jauh dari pusat erupsi GunungMuria, diperoleh litologi berupa Andesit dari pembekuan lava yang kontak dengan breksi vulkanik dan mengarah pada dugaan bahwa aliran lava tersebut berasal dari sumber terdekat lokasi pengambilan data coring- proses pengambilan sample atau contoh batuan dari dalam lubang bor. Data tersebut menunjukkan adanya sejarah erupsi pada Maar sebagai titik pusat erupsi lainnya. Dengan mengetahui adanya potensi aktivitas vulkanisme, diperlukan upaya untuk melakukan mitigasi bencana erupsi gunungapi di sekitar Semenanjung Muria.(Sup)