SAHABAT SAYA, PULANG DARI TURKI
Sambil makan goreng pisang dan menyeruput hot amiracano di Loko Coffe, di ujung utara Jalan Malioboro, tadi pagi, Sabtu, saya baca WA dari sahabat saya, Ibnu Burdah.
Ibnu Burdah selalu saya sapa Prof. Karena memang Guru Besar Kajian Dunia Arab di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia mengabarkan baru pulang dari Turki, tidak sekadar plesiran. Tetapi, mendampingi mahasiswanya mengikuti lomba debat dalam bahasa Arab antar-universitas dari lima benua.
Saya mengenal putra Karangan, Trenggalek, Jawa Timur (1976) ini beberapa tahun lalu, ketika diundang untuk bicara tentang Timur Tengah pasca Arab Spring Revolution, Revolusi Musim Semi Arab, di UIN Sunan Kalijaga. Sejak itu, kami saling berkomunikasi, berkabar-kabaran; dan bersahabat.
***
Turki selalu mengingatkan cerita-cerita besar di masa lalu. Istanbul yang didirikan di Tanjung Sarayburnu sekitar 660 SM sebagai Byzantium, misalnya, pernah menjadi pusat empat kerajaan besar: Kekaisaran Romawi (330-395), Kekaisaran Bizantium (395-1204 dan 1261-1453), Kekaisaran Latin (1204-1261) dan Kekaisaran Ottoman atau Utsmaniyah (1453-1922).
Letak kota Istanbul, memang unik. Istanbul adalah kota lintas benua, melintasi Bosphorus—salah satu jalur air tersibuk di dunia—antara Laut Marmara dan Laut Hitam. Pusat bisnis dan sejarahnya terletak di Eropa, sementara sepertiga penduduknya tinggal di Asia. Hingga kini, Istanbul, kota terbesar di Turki dengan penduduk 13,9 juta jiwa, tetap merupakan jantung sejarah, kultural, dan ekonomi Turki. Meskipun ibu kota Turki di Ankara.
Pada tahun 330 M, Konstantin Agung, Kaisar Romawi membangun kota ini dan menjadikanya sebagai ibukota Kekaisaran Romawi Timur. Lalu, nama Byzantium pun diganti menjadi Konstantinopel, Roma Baru.
Istanbul berperan penting dalam kemajuan agama Kristen selama zaman Romawi dan Bizantium, sebelum Ottoman menaklukkan kota pada tahun 1453 dan mengubahnya menjadi benteng Islam dan kursi kekhalifahan terakhir, sebelum “dimatikan” oleh Mustafa Kemal Atatürk.
Kekhilafahan dihapus. Khalifah terakhir Sultan Abdülmecid diturunkan dan diasingkan, 3 Maret 1924. Ia lalu hidup 20 tahun di Perancis. Alfabet dan angka Arab dibuang demi alfabet Latin dan sekolah-sekolah agama ditutup, sementara wanita dilarang mengenakan kerudung di departemen resmi. Sebuah bentuk ekstrim dari sekularisme, laisisme, diadopsi oleh Atatürk, yang melihat bahwa kebangkitan Turki akan tetap tidak lengkap jika Islam dan Ottomanisme tidak dipaksa untuk mundur (tutkainlehti.fi, 25 April 2018).
Atatürk dan lingkaran elitisnya yang dikenal sebagai Kemalis, percaya bahwa agar Turki dapat mengejar ketertinggalan dari negara maju (Barat), negara harus mengontrol ekspresi keagamaan dan mendirikan rezim partai tunggal. Oleh karena itu, Partai Republik Rakyat (CHP) didirikan.
***
Semua itu adalah masa lalu Turki, negeri yang posisinya unik: terletak di Asia dan Eropa, menjadi jembatan Timur dan Barat. Kebesaran Kekaisaran Romawi Timur, adalah masa lalu. Keagungan Kesultanan Utsmaniyah yang di puncak kekuasaannya di bawah pemerintahan Suleiman Al-Qanuni (1494 – 1566) wilayahnya meliputi sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika, juga masa lalu.
Bahkan, kedudukan penguasa Utsmaniyah selain sebagai sultan juga sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis, juga masa lalu. Pada tahun 1517, setelah penaklukkan Mesir oleh Utsmaniyah, Khalifah Al-Mutawakkil III menyerahkan kedudukan khalifah kepada Sultan Selim I. Maka penguasa Utsmaniyah sejak itu: sultan sekaligus khalifah.
Semua itu masa lalu Turki. Suatu masa yang tidak bisa diputar ulang. Apalagi, dikembalikan. Meski P Swantoro (2018) berkeyakinan masa lalu selalu aktual; masa kini dan masa lalu selalu bertali-temali. Tetapi, tidak semua masa lalu cocok untuk masa kini.
Maka–bahkan pada tahun 1917 pun–Mustafa Kemal Pasa, 1881-1938, yang kemudian mendapat gelar Atatürk (Bapak Bangsa Turki), sudah melihat bahwa Kesultanan Ottoman (Utsmaniyah) adalah masa lalu, yang tidak cocok terhadap tuntutan bangsa Turki yang tengah menyongsong zaman baru, ketika itu. Kesultanan Utsmaniyah dianggapnya sudah tak mampu lagi menghadapi tantangan zaman setelah kekalahannya pada PD I. Maka kesultanan dan kekhilafahan, dihapus.
Tidak ada lagi sultan di Turki. Yang ada, presiden. Tidak ada lagi kesultanan. Yang ada negara republik. Tidak ada lagi Kekhalifahan Utsmaniyah. Yang ada Republik Turki. Tidak ada lagi khalifah di Turki. Yang ada, presiden.
Republik Turki modern dideklarasikan pada 29 Oktober 1923. Lahirnya Republik Turki, secara permanen mengakhiri Kesultanan Ottoman. Atatürk membuka lembaran sejarah baru bangsanya dengan menutup lembaran lama.
Atatürk pula yang menyatukan impian tentang kebangsaan Turki yang baru. Atatürk-lah yang mengokohkan banyak ide dan isu yang akan mendefinisikan Turki modern. Dia-lah yang memrakarsai gerakan sekularisasi yang luas (pemisahan agama dan politik).
Dia juga memberikan hak pilih dan hak politik kepada perempuan. Dia pula yang membawa ide-ide dan gaya berpakaian Barat (dengan melarang fez, misalnya), dan terakhir tetapi paling tidak dia memindahkan ibu kota negara baru dari Istanbul ke Ankara. Selama lebih 80 tahun, Turki diperintah secara ketat dengan memegang teguh prinsip-prinsip sekular yang diperkenalkan Mustafa Kamal Atatürk.
***
Tetapi, Turki sekarang bukan Turki yang dulu. Bukan Turki Ottoman. Bukan Turki Utsmaniyah. Bahkan, bukan pula Turki Atatürk! Turki sekarang adalah Turki Erdoğan.
Kata Dimitar Bechev (2022), sejak menjadi penguasa Turki pada tahun 2002, Recep Tayyip Erdoğan telah memimpin transformasi radikal Turki. Kemenangan Erdoğan dengan AKP dinilai sebagai kekalahan Kemalisme. Penilain itu menjadi kenyataan dalam perjalanan waktu.
Misalnya, militer sebagai “guardian” Kemalisme, perannya mulai berubah sejak 2002, menjadi “guardian” negara. Amandemen terhadap konstitusi dan beberapa perubahan hukum lainnya telah mengurangi level keterlibatan militer di politik domestik (dwi fungsi militer, pertahanan-keamanan dan politik, makin melemah). Sejumlah amandemen konstitusi menunjukkan usaha sipil untuk mendorong keluar dari panggung politik dan hanya berurusan dengan masalah-masalah militer (Farsyd Fardfar, 2020).
Pada tahun 2017, dilakukan perombakan politik secara besar-besaran. Lewat kebijakan itu, Presiden Recep Tayyip Erdoğan memperkuat kendalinya yang hampir total atas Turki.
Bahkan setelah diambil sumpah sebagai presiden pada 9 Juli 2018, Recep Tayyip Erdoğan menjadi presiden Turki pertama yang memiliki kekuasaan luar biasa. Semua tugas perdana menteri dialihkan ke presiden, sistem parlementer lama dihapuskan, dan peningkatan otoritas atas peradilan dan militer diberikan kepada kantor kepresidenan.
Turki memasuki transisi dari demokrasi parlementer ke sistem yang menampilkan eksekutif, presiden sangat berkuasa. Ini menandai perubahan pemerintahan terbesar di Turki sejak Republik Turki didirikan di atas reruntuhan Kekaisaran Ottoman hampir seabad yang lalu oleh Mustafa Kemal Atatürk.
***
Itulah Turki sekarang ini. Turki di masa Erdoğan ini sering disebut Yeni Türkiye (Turki Baru) tanah suci susu dan madu walau kini sedang terseok-terseok karena krisis ekonomi; sementara era sebelumnya yakni era parenthetical sekularisme antara Ottoman dan Islamis disebut sebagai Eski Türkiye (Turki Lama).
Di Turki seperti itu, sahabat saya, Ibnu Burdah mendampingi para mahasiswanya ikut lomba. “Belum berhasil Pak Trias, yang dominan masih tim-tim negara Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Tim debat Universitas Oxford, Harvard, Chicago, Columbia, Western Sydney ternyata sangat kuat,” tulisnya tentang hasil lomba. Yah, namanya lomba…bisa menang bisa kalah…seperti lomba balapan karung di perayaan agustusan …juga seperti pertarungan untuk memerebutkan kursi kekuasaan tertinggi di negeri ini yang sekarang sudah mulai terasa…nanti pasti ada yang menang, ada yang kalah… Biasa.***(Sup)