Kudus, Dupanews.id – Gogon dan Gigin- dua nama samaran, yang menyamar sebagai manusia silver- perak. Tengah menjalankan aksinya di seputar perempatan jalan – lampu lalu lintas- lampu “bangjo” Jember- Kudus Kulon, Minggu ( 16/1/2022).
Gogon sudah beristeri dan mempunyai dua anak yang masih kecil. Asal Tasikmalaya Jawa Barat. Isterinya bekerja secara serabutan-tidak tetap. “Saya berpindah pindah dari kota ke kota. Sempat ke Batam dan beberapa bulan terakhir di Kudus. Setahun sekali kami baru pulang ke Tasikmalaya,” tuturnya.
Sedang Gigin masih berusia 18 tahun. Lajang yang hanya mengenyam hingga lulus Sekolah Dasar (SD) ini mengaku berasal dari Karangayung Grobogan. “ Saya ikut embah dan memang tidak punya pekerjaan tetap. Saya telah berusaha tapi karena hanya lulusaan SD, ya akhirnya tidak ada perusahaan yang mau menerima saya sebagai karyawannya,” tuturnya. Gogon dan Gigin sama sama menyewa sebuah kamar dengan ongkos Rp 250.000 per bulan di seputar Kelurahan Purwosari.
Keduanya dalam menjalankan “aksi”, hampir selalu mengecat sebagian besar tubuhnya dengan cat warna silver atau perak. “Satu kaleng harganya sekitar Rp 60.000 – Rp 70.000. Bisa dipakai selama sekitar sebulan. Bisa mudah dihilangkan dicuci dengan sabun. Biar menarik perhatian saja,” tuturnya.
Entah siapa dan sejak kapan munculnya sebutan Manusia Silver atau perak tersebut . Namun Menurut Pasal 5 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kudus nomor 15 tahun 2017 tanggal 21 Juni 2017 tentang penanggulangan gelandangan, pengemis dan anak jalanan : Pengemis adalah orang-orang dengan kriteria: a. mata pencahariannya meminta-minta dan/atau tergantung pada belas kasihan orang lain; b. berpakaian kumuh, berpenampilan kurang layak, dan berada di tempat-tempat umum; dan c. memperalat sesama dan/atau mempergunakan alat untuk meminta belas kasihan orang lain.
Pada Pasal 19 disebutkan: setiap orang dilarang: a. melakukan kegiatan menggelandang dan/atau mengemis baik perorangan atau berkelompok dengan alasan, cara dan alat apapun untuk menimbulkan belas kasihan orang lain; b. memperalat orang lain dengan mendatangkan seseorang/beberapa orang baik dari dalam daerah ataupun dari luar daerah untuk maksud melakukan kegiatan menggelandang, mengemis, dan/atau anak jalanan ( Anjal); c. mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sehingga menyebabkan terjadinya kegiatan menggelandang, mengemis, dan/atau Anjal; dan/atau d. memberi uang dan/atau barang dalam bentuk apapun kepada Gelandangan, Pengemis, dan Anjal di tempat umum.
Dan dalam Pasal 21 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a, diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf b diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf c diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) .
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf d diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Perda itu sendiri sudah “berumur” sekitar empat tahun lebih enam bulan, tapi eksekusinya di lapangan- nampaknya masih perlu dipertanyakan
Sebuah negara tidak akan hancur oleh seribu pengemis yang ada di negara tersebut tapi sebuah negara akan hancur hanya dengan ada beberapa koruptor di negara tersebut. Itu pendapat Ir. Lies Hartono atau dikenal dengan nama Cak Lontong. Salah satu pelawak andal Indonesia. Pria kelahiran 7 Oktober 1970 yang berpendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Nggak tahu di Kudus apakah ada koruptor atau tidak. Namun lumayan banyak yang disebut gelandangan, pengemis dan anak jalanan.(Sup)