Kudus, Dupanews.id – Penikmat kopi di Kabupaten Kudus pada umumnya tidak asing lagi dengan kopi jetak Namun banyak yang tidak tahu jika kopi jetak ini sudah diproduksi sekitar tahun 1930 an dan perintisnya adalah Mbah Tuminah.
Kemudian dilanjutkan anaknya yang bernama Mbah Marsinem lalu sejak tahun 1990 dilanjutkan Noor Azis ( 64). “Saya adalah generasi ketiga. Saya belum tahu apakah akan dilanjutkan anak saya atau tidak. Sebab saat ini anak tunggal saya berada di Jakarta,” tutur Noor Azis yang ditemui di rumahnya Dukuh Jetak Desa Kedungdowo Kecamatan Kaliwungu- sekitar 8 kilometer barat Alun Alun Simpang Tujuh Kota Kudus, Minggu ( 16/1/2022).
Ketika tongkat estafet berada di tangan Noor Azis, bahan baku kopi tetap didatangkan dari Desa Colo Kecamatan Dawe (Kudus). Desa ini dikenal sebagai salah satu desa sentra tanaman kopi di kawasan Gunung Muria. “Sampai sekarang masih. Saya tidak paham jenis kopinya. Satu kilogram harganya Rp 28.000,- sudah dalam bentuk biji kering.” Tambah Noor Azis.
Dari satu kilogram kopi biji kering tersebut, setelah digoreng dan dihaluskan tinggal tersisa 6 ons. Proses penggorengannya butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk setiap 10 kilogram. Dan bahan bakarnya khusus menggunakan kayu mahoni- yang memiliki kelebihan suhunya (panasnya) stabil. Begitu pula aroma uapnya. “Tanpa minyak goreng dan tanpa tambahan apapun- murni kopi alami. Dengan proses produksi yang cukup sederhana ini, kopi yang kami hasilkan sangat halus dan warnanya kehitaman,” jelasnya.
Dan bagi para pelanggannya, sudah sangat paham – membedakan antara kopi buatan Noor Azis dengan kopi buatan warga Dukuh Jetak maupun buatan warga desa/kecamatan/ kabupaten lain. Padahal kopinya itu hanya dibungkus plastik, tanpa merek dagang atau embel-embel tulisan lain.
Abu Bakar, salah seorang perokok berat sekaligus peminum kopi, selain menyatakan “enak dan harumnya” kopi tersebut, juga sekaligus membuktikan “keaslian” kopinya. Dengan cara dileleti –mengoleskan endapan kopi yang disajikan Noor Azis ke batang rokok yang telah dihisapnya. “Jika kopi ini bercampur dengan bahan lain, pasti warna olesannya tidak berwarna hitam dan justru mempercepat batang rokok ini mati. Jika asli menyebarkan aroma tersendiri. Rokok pun tahan lama untuk dihisap. “ tuturnya.
Dalam perjalanan dari rumah Noor Azis dengan mengendarai motor dan berhenti sejenak di perempatan jalan lingkar barat wilayah Desa Klumpit- sejauh sekitar lima – enam kilometer, rokok yang setiap saat dihisap ini ternyata belum mati. Pas tinggal sebatas filter. “Wah pancen bener kopi jetak enak tenan- ternyata betul kopi jetak nikmat” ujar Abu Bakar sembari terkekeh.
50 kilogram sehari
Perjalanan kopi jetak Mbah Tuminah, diawali dengan membuka warung kopi di rumahnya ( yang kini ditempati Noor Azis dan telah direnovasi). Hal itu dilanjutkan anak perempuannya yang juga tetap membuka warung kopi dan saat ditangani Noor Aziz secara bertahap dikembangkan. Dengan cara menjual serbuknya. Diedarkan dari warung ke warung ke seluruh penjuru wilayah kabupaten Kudus dengan naik sepeda onthel, sehingga pelanggannya bertambah banyak. “Saya akhirnya konsentrasi hanya memproduksi kopi siap saji. Dan saya bungkus sesuai ukuran/berat dan harganya. Dari Rp 500,- per bungkus /plastik hingga Rp 60.000 Sedang warung kopinya sudah saya tutup,”
Dari sekitar 5 kilogram per hari merangkak-naik dan kini rata rata menghabiskan 50 kilogram kopi . Atau sekitar 30 kilogram dalam bentuk bubukan-serbuk siap saji, Dengan nilai jual 30 kilogram x Rp 60.000,- = Rp 1,8 juta/hari. Setelah dikurangi untuk upah lima pekerja ( tiga pekerja perempuan, dua pekerja pria), bahan bakar ( kayu mahoni) dan biaya biaya lainnya, keuntungan bersih yang diterima Noor Azis sekitar 10 persennya. Atau Rp 180.000/hari.”pandemi covid-19 juga berpengaruh terhadap penurunan omzet produksi/penghasilan, tapi secara bertahap mulai pulih kembali,”. ujarnya mengakhiri pembicaraannya dengan Dupanews(Sup)