Václa Havel Oleh :Trias Kuncahyono
Dupanews.id – Ketika Václav Havel meninggal dalam tidurnya, 18 Desember 2011 pagi—lahir 5 Oktober 1936 di Praha, Republik Sosialis Cekoslovakia kini Republik Ceko, dari keluarga bourgeois, dua tahun sebelum Nazi menduduki Cekoslovakia—orang segera ingat Revolusi Beludru (Velvet Revolution atau Sametová Revoluce). Beberapa jam sebelumnya, Kim Jong-il, Pemimpin Tertinggi Korea Utara, meninggal dunia.
Dua puluh dua tahun jarak waktu antara hari kematian Havel dan meletusnya Revolusi Beludru yakni 17 November 1989. Revolusi yang bermula di Národní Třìda Avenue, Praha ini adalah sebuah gerakan anti-pemerintah rezim komunis Cekoslovakia yang digelar para mahasiswa dimotori oleh koalisi non-kekerasan Forum Sipil (Občanské Fórum) Czech dan publik Slovak. Negara Cekoslowakia merupakan gabungan dua wilayah yakni Republik Ceko dan Republik Slovakia, dua wilayah dengan sejarah yang berbeda identitas.
Selama periode itu, 1989-2011, banyak hal terjadi: Revolusi berhasil menumbangkan rezim komunis yang berkuasa dan mengubur ideologinya. Semua itu berjalan tanpa kekerasan. Sejarawan Inggris, Tomothy Garten Ash (1990) yang nenyaksikan revolusi itu menulis, Revolusi Beludru berlangsung “cepat, sepenuhnya tanpa kekerasan, penuh sukacita, dan lucu.”
Pada tanggal 29 Desember 1989, Havel secara bulat terpilih sebagai presiden dalam pemungutan suara secara terbuka di parlemen yang masih komunis. Pada saat inilah, kejatuhan rezim komunis menjadi lengkap: orang yang tujuh bulan sebelumnya menjadi tahanan politik, mulai saat itu menjadi presiden. Setelah rezim komunis gulung tikar, dramawan, penyair, esais, dan pembangkang politik Václav Havel menjadi presiden. Lingkaran sejarah ditutup, perubahan selesai.
Ia menjadi presiden kesepuluh Cekoslovakia (1989-1992). Tragisnya, Václav Havel, pada akhirnya juga menjadi presiden terakhir Cekoslovakia. Sebab, ketika pada tahun 1993, terpilih lagi sebagai presiden, Cekoslovakia sudah pecah, “Velvet Divorce, menjadi dua negara merdeka dan berdaulat: Republik Ceko dan Republik Slovakia, pada 1 Januari 1993. Ia menjadi presiden pertama Republik Ceko.
Sejak menduduki jabatan presiden, mantan pembangkang politik dan pembela hak-hak asasi manusia ini, dielu-elukan dunia. Namun perlu diingat bahwa kekuasaan presiden sebagian besar bersifat simbolis di bawah Konstitusi Ceko. Kekuasaan nyata ada di tangan perdana menteri. Karena itu, Havel melakukan semua usaha yang bisa ia lakukan, untuk melindungi supremasi hukum dan pluralitas politik. Selama menjadi presiden, 30 kali menggunakan hak vetonya. Havel juga memainkan peran penting dalam pembentukan senat, mahkamah konstitusi, dan kantor ombudsman.
Maka kata Havel, “Saya yakin bahwa kita tidak akan pernah membangun negara demokrasi berdasarkan supremasi hukum jika kita tidak pada saat yang sama membangun negara yang—terlepas dari betapa tidak ilmiahnya hal ini di telinga ilmuwan politik—manusiawi, bermoral, intelektual, spiritual, dan berbudaya…”
Havel sepenuhnya menolak jenis politik “tujuan membenarkan cara” yang tidak jujur dan destruktif yang tampaknya mendominasi begitu banyak wacana politik. Kata Havel, “Tentu saja, saya tidak tahu apakah keterusterangan, kebenaran, dan semangat demokrasi akan berhasil. Tapi saya tahu bagaimana untuk tidak berhasil, yaitu dengan memilih cara yang bertentangan dengan tujuan. Seperti yang kita ketahui dari sejarah, itulah cara terbaik untuk menghilangkan tujuan yang ingin kita capai.”
Kata Havel dengan nada murung, “Bebas dari kediktatoran, tak selamanya membebaskan manusia dari perilaku buruk … Malah bisa lebih buruk dari ketika ia berada dalam pasungan.”
Ada nada kekecewaan dalam diri Havel. Suaranya tak cerah, karena di masa transisi politik—yang mencapai kepenuhannya pada tahun 2004, setelah Republik Ceko menjadi anggota Uni Eropa—sistem lama yang korup tidak hilang. Masih tetap hidup dalam birokrasi, bahkan menjadi-jadi.
Partai politik yang berkuasa Partai Demokratik Sipil (ODS) dan Partai Demokratik Sosial Ceko (ČSSD), menutup mata terhadap tindak korupsi. Mereka mengambil sikap yang sama terhadap korupsi seperti yang dilakukan rezim komunis yang mereka gusur. Tidak ada pihak yang mengakui bahwa korupsi sistemik ada pada saat itu. Jika kasus korupsi berubah menjadi skandal publik, yang disalahkan adalah kegagalan moral pribadi dari pelaku individu.
Tentu itu, beda dengan prinsip Havel. Baginya kekuasaan dan politik bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk “melayani mereka yang berada di sekitarnya.” Maka ketika melihat bahwa demokrasi yang ditegakkan lewat Revolusi Beludru ternyata disalahgunakan untuk mencari kepuasan diri lewat korupsi, menjadi medan untuk saling membenci, saling curiga, dan juga memberi tempat bagi merajalelanya rasialisme, bahkan juga fasisme, Havel sangat kecewa.
Yang lebih mengecewakan Havel adalah pecahnya Cekoslovakia menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia. Ia menenantang “perceraian” Cekoslovakia. Karena itu, Havel memilih mundur dari jabatannya sebagai presiden pada tahun 1992. Ia tak ingin “perceraian” Cekoslovakia itu terjadi ketika ia sedang memimpin negaranya. Cekoslovakia resmi pecah pada 1 Januari 1993.
Dulu, ketika melihat apa yang terjadi di negaranya—korupsi yang meruyak, demokrasi bablasan, menguatnya politik identitas yakni sentimen dan egoisme etnik yang berujung dengan pecahnya negara itu menjadi Ceko dan Slovakia—Havel mengatakan, politik dan kekuasaan telah kehilangan “sebuah tanggung jawab yang lebih tinggi” dan “sebuah laku untuk melayani.” Ia mengatakan demikian, karena bagi Havel politik adalah sebuah laku bukan untuk dirinya sendiri, tetapi pergulatan untuk liyan.
Kata Havel, politik adalah bidang usaha manusia yang lebih menekankan pada kepekaan moral, pada kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri secara kritis, pada tanggung jawab yang tulus, pada selera dan kebijaksanaan, pada kapasitas untuk berempati pada orang lain, pada rasa tidak berlebihan, pada kerendahan hati. Ini adalah pekerjaan untuk orang-orang sederhana, untuk orang-orang yang tidak bisa ditipu.
Mereka yang menyatakan politik adalah bisnis kotor, itu membohongi kita. Politik adalah jenis pekerjaan yang membutuhkan terutama orang-orang yang tulus, bersih karena sangat mudah untuk menjadi tercemar secara moral. Sedemikian mudahnya, sehingga roh yang kurang waspada mungkin tidak menyadarinya sama sekali. Karena itu, politik harus dijalankan oleh orang-orang yang waspada, peka terhadap janji penegasan diri yang ambigu yang menyertainya. Begitu kata Havel.
Indonesia, memang bukan Cekoslovakia. Tetapi melihat apa yang terjadi setelah Reformasi 1998, misalnya, meruyaknya korupsi, demokrasi bablasan, menguatnya politik identitas yakni sentimen dan egoisme etnik, ditambah dengan politisasi agama, rasanya apa yang dikatakan Havel menjadi relevan juga bagi kita. ***(Sup)