Bebas

ORANG-ORANG KALAH, Oleh : Trias Kuncahyono

Share

Suatu hari, rakyat Kerajaan Sadik mengepung istana sambil berteriak-teriak melampiaskan rasa ketidaksukaan, ketidakpuasan, kebencian kepada Sang Raja. Mengetahui dan mendengar aksi rakyatnya itu, Raja keluar istana, tidak lupa memakai mahkota dan memegang tongkat kerajaan. Ia menemui rakyatnya yang berteriak-teriak dalam kemarahan tak karuan itu.

Begitu melihat Raja yang selama ini dikenal sangat berwibawa itu keluar istana, massa rakyat yang berteriak-teriak, tanpa dikomando segera diam. Mengunci mulutnya rapat-rapat. Hilang kata-kata yang sebelumnya meluncur dengan sangat deras dari mulut mereka, bagaikan air bah.

“Teman-temanku, yang tidak lagi menjadi rakyatku, kuserahkan mahkota dan tongkat ini kepada kalian semua. Aku akan menjadi salah seorang dari kalian. Aku hanyalah seorang manusia biasa, seperti kalian. Dan, sebagai manusia aku akan bekerja bersama kalian untuk membuat segala sesuatu di negeri ini menjadi lebih baik  bagi kita semua,” kata Raja. Massa rakyat diam.

Setelah menarik napas pendek, Raja melanjutkan kata-katanya: “Mari kita ke sawah dan ladang, bekerja bersama saling membantu.Tunjukkan kepadaku sawah dan ladang mana tempat kita, termasuk aku, harus bekerja.”

“Sekarang, kalian semua adalah raja….” kata Raja.

Mendengar semua itu, massa rakyat semakin diam. Sunyi. Segala benda-benda dan alat musik yang sebelumnya mereka pukul-pukul untuk membuat gaduh, dibiarkan tak disentuh. Burung-burung di dahan dan ranting pohon-pohon di halaman istana pun tak ada seekor pun yang bersuara. Raja yang selama ini mereka anggap sebagai sumber masalah negeri, telah menyerahkan mahkota dan tongkat kepemimpinan kepada mereka. Dan, bergabung dengan mereka, menjadi rakyat biasa.

Lantas, tanpa dikomando, mereka pergi meninggalkan istana, Raja pun berjalan bersama mereka. Raja bersama dengan seorang laki-laki pergi ke ladang, Raja berladang.

Ternyata, tanpa kepemimpinan seorang raja, Kerajaan Sadik tidak menjadi lebih baik, tidak menjadi lebih aman, tidak menjadi lebih tentram, tidak menjadi lebih makmur, tidak menjadi lebih maju. Yang terjadi sebaliknya, kesengsaraan dan kemiskinan makin menjadi-jadi; keamanan makin rapuh, tertib hukum tidak ada lagi, banyak orang bertindak semaunya sendiri.

Mereka baru sadar bahwa dibutuhkan seorang raja untuk memimpin, mengatur, mengelola, dan membawa negara dan rakyatnya ke kemakmuran, ke situasi dan suasana yang lebih baik, aman dan tentram, meski membutuhkan waktu. Ketika kesadaran itu kembali, orang-orang di mana-mana mulai berteriak-teriak, “Kita harus memiliki seorang raja lagi…..!”

Kemudian mereka, massa rakyat, mencari Raja. Dan, mereka menemukan Raja tengah membajak sawah dengan dua ekor kerbau. Massa rakyat lalu memaksa Sang Raja untuk kembali ke istana. Mahkota dan tongkah diserahkan kembali. Mereka memohon agar Raja memerintah kembali. Mereka percaya bahwa Raja akan membawa negara keluar dari kemiskinan, kesengsaraan, dari kegelapan menuju dunia terang.

“Sekarang perintahlah kami dengan kekuatan dan keadilan….” teriak massa rakyat.

“Bukan aku, bukan aku. Kalian sendiri adalah raja. Ketika kalian  menganggap saya penguasa yang lemah dan salah, kalian sendiri lemah dan sesat. Dan sekarang negara menjadi sejahtera karena sesuai dengan kehendak kalian semua. Aku hanyalah alat kalian untuk mewujudkan kehendak kalian. Tidak ada seorang pemimpin yang mampu memerintah dengan baik, bila yang dipimpin tidak mau mengatur dirinya sendiri.”

Begitu sepotong cerita Kahlil Gibran tentang The King dalam buku The Wanderer, His Parables and His Sayings (1932). Kahlil Gibran seorang penulis kondang tingkat dunia dan seorang pelukis yang lahir pada 6 Januari 1883 dari sebuah keluarga Kristen Maronit di Bsharri, Lebanon, dan pada tahun 1895 pindah ke Amerika Serikat, meninggal April 10, 1931 karena sirosis hati.

Ilustrasi gambar: Istimewa

II

Benar yang dikatakan Sang Raja, “tidak ada seorang pemimpin yang mampu memerintah dengan baik, bila yang dipimpin tidak mau mengatur dirinya sendiri.” Dengan kata lain, bila yang dipimpin semaunya sendiri atau bahkan merasa lebih hebat, lebih atau paling benar dibanding yang memimpin sehingga cenderung ngomong sesukanya dan bertindak semaunya, maka semakin benar apa kata Sang Raja. Apa pun yang dikatakan atau dilakukan Sang Raja dianggap salah, tidak baik, tidak bermutu, dan hanya janji-janji belaka.

Sementara, yang memberikan penilaian seperti itu terhadap Sang Raja, juga tak berbuat apa-apa. Atau kalaupun berbuat, ya untuk kepentingan kelompoknya sendiri atau sekadar untuk membangun citra. Itulah yang hari-hari terjadi. Paling mudah, memang, mengritik. Kritik-mengritik adalah keniscayaan negara demokrasi.

Tetapi, kritik-mengritik jelas tidak sama dengan mencemarkan nama baik, menabur kebencian, menyebarkan ketidaksukaan, waton beda, asal beda,  waton sulaya, tidak peduli yang diomongkan benar atau salahyang penting diteriakkanAdalah kurang atau malahan tidak elok, bersembunyi, berlindung di balik kebebasan untuk mengritik di negara demokrasi ini.

Sebenarnya, mereka—siapa pun—paham betul apa dan bagaimana mengritik. Mereka juga memahami betul rambu-rambu, batasan-batasan mengritik. Tetapi, yang banyak terjadi, pura-pura tidak tahu, lupa, atau malahan sambil tidur mereka mengritik. Semestinya, memang, sampaikan kritik yang betul-betul kritik, bukan hinaan, hasutan, pencemaran nama baik, ungkapan kebencian, atau tindakan-tindakan tercela lainnya.

Di zaman digital ini, memang manusia bisa menumpahkan apa saja di Internet, termasuk kebencian, permusuhan, agresivitas, egoisme, dan naluri destruktifnya. Semuanya seperti tak terkontrol. Seolah-olah tidak ada hukum dan otoritas yang bisa mengontrolnya. Kabar bohong merajalela tanpa halangan di jejaring media sosial. Ujaran kebencian bertebaran di mana-mana; membuat kita sesak bernapas.

Memang, kita harus menentang—mungkin bahasa tegasnya, melawan—siapa saja yang menggunakan tangan-tangan hukum untuk membungkam kritik; kritik yang sebenar-benarnya, bukan kritik sebagai jaket atau mantel atau jubah untuk mendiskreditkan pemerintah atau penguasa. Sebaliknya, kita pun harus mendukung tindakan hukum terhadap mereka yang jelas-jelas melanggar hukum dengan dalih mengkritik pemerintah, penguasa.

Itulah hakikat demokrasi. Demokrasi adalah sikap hidup orang perorangan dalam masyarakat. Artinya, di situ ada sikap dan rasa tenggang rasa; tidak bisa bebas sebebas-bebasnya, semaunya sendiri. Semua ada paugerannya, ada batasnya.

Dalam rumusan lain, pemerintah tidak boleh otoriter, demikian pula oposisi. Selalu merasa benar, meski jelas-jelas melakukan tindakan yang tidak benar ialah bentuk otoritarianisme. Di sisi lain, menyampaikan kritik dengan cara yang benar adalah jiwa demokrat. Itulah yang harus ditumbuh-kembangkan.

Ilustrasi gambar: Istimewa

III

Dalam kisah yang dituturkan Kahlil Gibran, raja sangat paham bahwa kekuasaan yang ada pada dirinya bukan milik dia sepenuhnya. Kata Raja, “Kalian sendiri adalah raja. Ketika kalian  menganggap saya penguasa yang lemah dan salah, kalian sendiri lemah dan sesat.”

Raja paham bahwa kekuasaan bukan hanya bicara tentang daya paksa dan pengekangan yang menempatkan sekelompok orang di bawah yang lain (subordinasi). Namun, kekuasaan menghasilkan dan memampukan terjadinya tindakan politis dan relasi sosial. Pendek kata, politik tidak hanya membatasi dan mengekang. Namun, politik juga memberdayakan (Chris Barker, 2014).

Jadi, politik adalah aktivitas pokok dalam menghasilkan, mengatur, mereproduksi, dan mengubah tatanan sosial dan kultural macam apa pun. Tentu, menjadi lebih baik. Karena tujuan politik adalah bonum commune, kemaslahatan, kemakmuran bersama, bukannya “pertunjukkan kekuasaan.”

Dengan demikian, kekuasaan politik adalah kekuatan untuk menata atau mengatur masyarakat, yang dijalankan sesuai hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral). Pada akhirnya, hanya orang-orang kalah-lah yang tidak tahu berterima kasih, yang tidak bisa atau tidak mau mengartikan kritik dan mengkritik secara sebenar-benarnya; yang tidak bisa mendefinisikan dan mewujudkan politik secara semestinya selaras dengan mission sacre, misi suci politik; dan tidak bisa memahami kekuasaan sebagaimana seharusnya bahwa kekuasaan itu adalah melayani. Sebab, seperti kata pepatah salus populi suprema lex, kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi. (Sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button