Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 1)
Oleh : Sindhunata
Pagi sedang sangat indah di hutan Jatirasa. Embun-embun belum pecah. Diterpa sinar sang surya, mereka bepercikan bagaikan butir-butir mutiara yang membangunkan daun-daun dari tidurnya. Dahan-dahan berkeriutan. Seperti meminta, janganlah angin menghentikan semilir yang sedang sejuk mengelus-elusnya. Kokok ayam alas mengalun indah lalu melebur dalam kicauan burung-burung aneka warna.
Di pagi itu, tampak seorang raksasa bajang, berbadan kecil, berjalan-jalan dengan amat riang. Raksasa bajang itu amat buruk rupanya. Kulitnya hitam pekat, giginya beringgit-ringgit seperti duri-duri pandan. Taringnya tajam keluar. Hidungnya mengguntung, dahinya menggantung. Matanya membelalak, lehernya cekak, sampai ia kelihatan tak berpundak. Rambutnya merah, tumbuhnya jarang-jarang. Kakinya pendek, jalannya berangkang-rangkang. Punggungnya membungkuk sabut, pantatnya menggerumuk seperti mangkuk. Perutnya buncit, menggelembung seperti kelapa bergelantung.
Tak ada sedikit pun keindahan melekat padanya. Kendati demikian, semua yang hidup di hutan Jatirasa amat mencintainya. Raksasa bajang itu merasa, betapa ia amat dicintai binatang dan tumbuh-tumbuhan rimba Jatirasa. Karena itu ia juga amat mencintai mereka. Karena saling mencinta, mereka menjadi serasa. Maka kendati tak bisa bicara, binatang dan tumbuh-tumbuhan itu bisa menangkap apa yang dikatakan raksasa bajang kepada mereka. Dan walau tiada dan tanpa kata, raksasa bajang selalu mengerti maksud apa yang tersimpan di balik gerak-gerik dan suara mereka.
Hutan Jatirasa adalah rimba raya yang luas, tempat hidup aneka binatang liar dan buas. Di sana tumbuh pohon-pohon raksasa yang lebat daun-daunnya, hingga sinar matahari tak kuat menembus sampai selalu gelaplah keadaannya, juga di siang hari yang mestinya cerah. Semestinya, hutan ini seram dan menakutkan. Ternyata bukanlah demikian yang terjadi. Hutan Jatirasa adalah hutan yang damai. Pohon pohonnya pandai bernyanyi ketika angin bertiup menggerak-gerakkan dahan dan daun-daunnya yang rindang. Binatang-binatangnya saling bercengkerama, tak berebut mangsa, dan rela memakan hanya apa yang tersedia. Ini semua terjadi karena raksasa bajang yang membawa damai bagi mereka.
Ketika berjalan-jalan di pagi yang indah itu raksasa bajang bertemu dengan harimau yang sedang menyusui anaknya.
”Akan kuajak anakmu bermain-main,” kata raksasa bajang.
Induk harimau mengaum, seakan menjawab, bawalah anakku, seperti kau mau. Raksasa bajang segera menggendong anak harimau itu dan membawanya pergi. Di tengah jalan, ia terlihat oleh kawanan anak-anak harimau lain yang sedang lepas susu induknya. Karena sudah mengenal lama, anak-anak harimau itu pun mengikutinya. Mereka merengek iri, minta digendong oleh raksasa bajang berganti-ganti. Dan raksasa bajang pun menuruti permintaan mereka dengan senang hati.
Di kejauhan ia melihat kancil-kancil sedang bermain-main dengan anak-anaknya. Bersama dengan anak-anak harimau, raksasa bajang datang ke sana lalu menyuruh mereka bermain-main dengan anak-anak kancil. Sangat senanglah mereka bermain kejar-kejaran. Hiruk pikuk yang terdengar membuat penghuni hutan lainnya ingin datang ke sana. Kijang, kera, lutung, celeng, badak, dan gajah menuntun anak-anaknya, membiarkan mereka bermain-main bersama raksasa bajang.
Raksasa bajang riang tertawa, lalu menantang mereka, ”Kejarlah aku, kalau kalian bisa.” Anak-anak harimau, kancil, kijang, kera, lutung, celeng, badak, dan gajah lalu lari mengejar raksasa bajang. Sekencang apa pun anak-anak binatang itu berlari, tak juga mereka bisa mengejarnya.
Sampailah mereka di tepi telaga Sulendra. Raksasa bajang dan anak-anak binatang itu berhenti lalu bersama-sama meneguk airnya yang jernih. Sambil melepas kehausan, mereka melihat angsa-angsa yang berenang-renang di permukaan telaga. Angsa-angsa itu mengepak-ngepakkan sayap, membuat air telaga terkecipak menciprat seperti percik-percik mutiara. Dengan kesegaran yang disemburkan, angsa-angsa itu mengajak raksasa bajang dan kawan-kawannya untuk mencebur ke dalam telaga dan berenang-renang bersama. Anak-anak binatang itu ingin sekali menerima ajakan itu. Namun mereka tidak berani menceburkan diri. Mereka memuaskan diri hanya dengan bermain-main air di tepi telaga. Kegembiraan mereka mengundang ikan-ikan muncul ke permukaan air. Dan aneka ikan pun bersemburan ke sana kemari, menimbulkan kecipak-kecipak air yang menambah gembira suasana.
Di tepi telaga Sulendra itu mereka bermain-main dan bersenda gurau sampai puas. Sesekali terlihat raksasa bajang memeluk dan mencium mereka. Entahlah apa yang mereka katakan dan rasakan satu sama lain. Kalau toh perkataan dan perasaan mereka harus dilukiskan, itu bagaikan sulur-sulur pohon gadung yang sedang merambati pohon-pohon di tepi telaga. Betapa mereka sayang satu dengan lainnya, tak hendak berpisah.
Kalau toh perkataan dan perasaan mereka harus dilukiskan, itu bagaikan sulur-sulur pohon gadung yang sedang merambati pohon-pohon di tepi telaga. Matahari sudah mulai menusuk-nusukkan sinarnya di antara celah-celah pepohonan hutan Jatirasa. Raksasa bajang segera mengajak anak-anak binatang itu pergi dari telaga. Bagaikan seorang gembala, ia menggiring mereka pergi. Sangat indahlah iring-iringan itu berjalan. Paling depan berjalan anak-anak kancil dan kijang, di belakang beriring-iringan anak-anak celeng dan badak. Sedang anak-anak kera yang malas berjalan bergelayutan di punggung anak-anak celeng dan warak. Anak-anak harimau tak memperlihatkan taringnya, melompat-lompat kegirangan di belakang anak-anak celeng dan badak. Dan di belakang anak-anak harimau tampak anak-anak gajah yang berjalan dengan gagah sambil melambai-lambaikan belalai. Paling belakang berjalanlah raksasa bajang, ia membawa batang daun kelapa. Batang itu seperti pecut. Namun di tangan raksasa bajang yang mengayun-ayunkannya, batang daun kelapa itu seperti lidi jantan, yang sinarnya berpendaran menjadi aneka cahaya pelangi menggantikan cahaya matahari yang mulai pudar di senja hari (serial dari Kompas/Sup)