Alih Fungsi Lahan di Kudus Tidak Terbendung
Kudus, Dupanws.id – Alih fungsi lahan di Kabupaten Kudus semakin tidak terbendung. Ini merupakan ancaman serius bagi petani di Kota Kretek, yang bersama petani Indonesia lainnya hari ini Jumat (24/9/2021) tengah merayakan Hari Tani Nasional
Sebab tingkat pengalihan lahan dari pertanian ke non pertanian, dari tahun ke tahun cukup signifikan. Sebaliknya tindakan tegas dan nyata untuk mengerem laju pertumbuhan tersebut boleh dibilang “jalan di tempat”.
Lahan “tidur” ( lahan tidak produktif) yang diperkirakan masih sekitar 3.000 hektar dan sebagian besar berada di daerah aliran sungai (DAS) Juwana. Massuk wilayah Kecamatan Undaan,Mejobo, Jekulo, sampai sekarang gagal untuk dirubah menjadi lahan produktif.
Padahal dengan luasan lahan tidur yang seharusnya bisa dirombak menjadi lahan produktif. Atau secara otomatis mengembalikan lahan pertanian yang hilang, keran dialih fungsikan seluas 3.000 hektar.
Dengan asumsi rata rata kepemilikan tanah di Kudus 0,25 – 0,50 hektar/ petani, maka ada sekitar 6.000 -12.000 petani yang kembali bisa bercocok tanam. Dan bila lahan itu ditanami padi seluas satu hektar dan akan menuai panen minimal lima ton gabah kering panen (GKP), Maka akan terkumpul 3000 x 5 ton = 15.000 ton GKP
Menurut keputusan Gubernur Jawa Tengah dalam renvana tata ruang wilayah, Kabupaten Kudus ditetapkan harus memiliki lahan pertanian seluas 25.000 hektar. Namun menurut Hartopo dalam penjelasan kepada pers di Semarang Jumat (24/7/2020), di atas kertas lahan di Kabupaten Kudus seluas 20.000 hektar. “Tapi riilnya tinggal sekitar 17.000 hektar. Yang 3.000 hektar ditempati bangunan tapi tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Kita harus banyak kontrol, soalnya kadang-kadang ada sawah tiba-tiba dibangun bangunan. Tiba-tiba ada dua lantai dan tiga lantai. Mau dibongkar, jadi masalah,” ujarnya yang saat itu masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kudus .
“Memang harus ada lahan pertanian. Cuma masyarakat kita selalu monoton, jadi inovasinya kurang. Ngambil buruh tani harian saja susah dan sudah mahal. Makanya lahan pertanian banyak untuk kavlingan,” jelas Hartopo.
Waduk Logung
Apa yang diungkapkan Hartopo kurang tepat. Sebab sejak dibangun dan berfungsinya Waduk Logung yang berkapasitas ( daya tampung) 20 juta meter kubik, mampu mengubah lahan tidak produktif ( lahan non irigasi teknis) menjadi lahan produlktif ( irigasi teknis). Luasnya berkisar 3.000 – 5.000 hektar.
Hanya saja sampai menjelang akhir September 2021 belum ada perartusan daerah (Perda) yang mengatur pola tanam sehubungan dengan berfungsinya waduk Logung. Sedang daerah jaringan irigasi waduk itu sendiri mencakup wilayah Kecamatan Jekulo, Mejobo dan Jati.
Selain itu pihak Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus, juga belum bergerak lebih aktif dan efektif. Antara lain membangun jaringan irigasi baru terkait adanya pasokan air sepanjang tahun dari waduk Logung. Bahkan di lapangan banayk sekali ditemukan jaringan irigasi yang rusak berat dan hingga tidak berfungsi.
Dinas ini juga tidak mengecek langsung ke lapangan. Misalnya di Desa Klumpit Kecamatan Gebog, yang memiliki lahan pertanian seluas 300 hektar, Tapi nyaris sebagian tidak berfungsi, karena tidak ada program kerja yang kemudian dijabarkan di lapangan. Desa ini tidak memiliki sumber irigasi dan sebenarnya bisa diatasi dengan pembangunan embung skala kecil-menengah atau sumur sunur air dalam.
Petani mengambil jalan pintas mengalih fungsikan lahan mereka, karena “kehadiran” pemerintah kabupaten dengan ujung tombaknya Dinas Pertanian dan Pangan hanya terbatas seremonial saja. Contoh terakhir saat petani cabe kelimpungan kala harga cabe merosot tajam. Selamat Hari Tani Nasional(Sup)