Galian C Dilarang Palu “Kematian “ Bagi Kakek Nenek Hadi
Kudus, Dupanews.id – Bagai palu kematian bagi Hadi dan isterinya. Pasangan suami isteri yang telah berusia antara 65-66 tahun dan masih aktif membuat bata merah Setelah forum rapat di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Kudus per 19 Agustus 2021 memutuskan Usaha Penambangan Galian C di Desa Klumpit Kecamatan Gebog tetap harus dihentikan. “Padahal saya sudah mengeluarkan biaya untuk sewa tempat Rp 10 juta. Sudah bayar pembelian tanah untuk bahan pokok pembuatan bata merah. Lalu saya dan isteri saya bakal kehilangan sumber penghasilan,” ujar Hadi (66) warga Desa Klumpit ketika ditemui Dupanews id di lokasi kerjanya Jumat (20/8/2021).
merah
Tidak hanya pasangan kakek nenek ini saja yang bakal kehilangan pekerjaan, tapi ratusan tenaga yang seprofesi . Di saat semua serba susah di tengah pandemi Selain itu juga akan berpengaruh terhadap pasokan bata merah ke konsumen, mengingat hasil produksinya sudah cukup dikenal dan cukup besar.
Hadi menuturkan sudah sejak tahun 1978 menjadi pengrajin bata merah. Atau sekitar 43 tahun tanpa berhenti-tanpa pernah alih profesi “Ya, karena hanya itulah kemampuan saya.Tidak ada pekerjaan sampingan. Saat musim hujan praktis berhenti. Itulah masa paceklik, karena tidak ada penghasilan. Tapi kami tetap bertahan sampai sekarang,” ujarnya.
Dalam keseharian bekerja membuat bata merah, ia didampingi isterinya dan salah satu anaknya.Terkadang ada satu dua pekerja lagi yang ikut bekerja. Sejak pagi hingga sekitar pukul 15.00 dengan berhenti istirahat sambil makan siang “Dalam satu hari kami hanya mampu “mencetak” bata merah paling banyak 500 bijij. Padahal untuk satu kali pembakaran kapasitasnya 10.000 biji, sehingga untuk mencapai target kapsitas dibutuhkan waktu paling tidak 20 hari. Paling banyak dalam setahun kami melakukan 10 kali pembakaran,” tambah Hadi.
baca juga : Bupati Hartopo Apresiasi Karang Taruna yang Berprestasi
Untuk proses pembakaran supaya lebih menghemat biaya harus membeli brambut (limbah penggilingan padi) dari wilayah Kecamatan Undaan. Meski bahan bakarnya brambut kualitasnya tidak terlalu jauh berbeda dengan bahan bakar kayu. Mengingat bahan baku tanah liatnya di wilayah Desa Klumpit cukup baik.
Ketika proses pembakaran selesai, dilanjutkan proses penjualan atau masa panen bagi pengrajib bata merah. Setiap 1.000 biji harganya Rp 750.000, sehingga hasil penjualannnya Rp 7,5 juta. “Lalu setelah diperhitungkan dengan biaya tenaga kerja, pembelian tanah, bahan bakar, biaya pembakaran yang bisa mencapai separoh dari hasil penjualan, maka hasil keuntunganya mepet. Apalagi jika saya dan isteri tidak ikut bekerja,” ujar kakek dari empat anak yang semuanya sudah berumah tangga ini.
Hitungannya di atas kertas kakek nenek ini dalam waktu paling cepat 20 hari memperoleh keuntungan sekitar Rp 3.250.000. Hasil bagi dari penjualan Rp 7,5 juta dibagi dua. Kelihatannya “besar”, tapi itu hanya terjadi saat musim kemarau. Sedang pada musim penghujan suami isteri ini samasekali tidak berpenghasilan. “Sekarang dengan adanya keputusan di Satpol PP tersebut, kami tidak ada lagi yang dicagerke dijagake- diandalkan. Bata merah yang kami hasilkan belum mencapai 10.000 biji, sehingga belum bisa dibakar.” Tambah Hadi.
Derita lain yang harus disandang bagi Hadi, karena salah satu sepasang matanya total sudah tidak bisa melihat. Sedang satunya lagi pernah dioperasi dan menghabiskan biaya sekitar Rp 6 juta. Lalu selama ini juga belum pernah terbantu dengan berbagai program yang digulirkan pemerintah.
baca juga : Bupati Serahkan Bantuan Dan Beri Apresiasi Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan
Lalu yang patut dipertanyakan salah satu hasil rapat yang dituangkan dala berita acara menyebutkan : Untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan usaha para pengrajin batu bata desa setempat, perlu dibentuk Paguyuban pengrajin batu bata sebagai bentuk kearifan lokal yang diatur lebih lanjut dalam peraturan desa (Perdes). Pembuatan batu bata harus dilakukan di area lahan setempat (bukan unuk t kepentingan luar desa). Dangkal tanpa didukung fakta yang sebenarnya, Apalagi berdasarkan kajian.
Warga butuh lapangan kerja untuk makan (kasarnya), tapi lapangan kerjanya yang telah ditekuni puluhan tahun ini justru dimatikan begitu saja. Tanpa solusi yang jelas dan tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab.(Sup)
.