8 Hektar Tanah Warga Karangsubur Dicaplok Pemdes
Kudus, Dupanews.id – Tanah warga Dukuh Karangsubur Desa Klaling Kecamatan Jekulo Kbupaten Kudus seluas sekitar 5,8 hektar “dicaplok” pemerintahan desa (Pemdes) setempat. Bahkan jika merunut data yang diberikan warga kepada Dupanews, luasnya malah mencapai delapan hektar. Tanah yang berada di blok Kendeng tersebut dijadikan tanah bengkok perangkat/desa dan biasanya disewakan kepada juragan tebu.
Warga sudah seringkali menuntut haknya kepada Pemdes Klaling hingga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kudus Paling tidak telah dimulai sejak 17 Juni 2000 melalui surat resmi yang ditujukan kepada Bupati Kudus yang ditanda-tangani 10 warga. Lalu paling akhir pada menjelang akhir 2020. Atau sudah sekitar 20-21 tahun warga memperjuangkan haknya dan belum juga berhasil.
Pemdes Klaling bersikukuh tanah tersebut tidak tercatat dalam buku C desa milik Pemdes (versi kepala desa Klaling Sahri. Sedang pihak Pemkab menyarankan untuk diselesaikan di tingkat pengadilan. Warga tidak menempuh upaya hukum, karena tidak memiliki uang untuk biaya “bertarung” di pengadilan. Juga tidak memiliki bukti “hitam-putih”. Seperti bukti pembayaran dan perjanjian/kesepakatan dengan Pemdes Klaling “Namun kami masih punya saksi hidup yang bisa menjelaskan secara rinci masalah tanah tersebut,” ujar Solikhul Hadi yang ditemui Dupanews, di rumahnya Desa Karangsubur, Jumat (6/8/2021). Sejumlah warga juga datang, termasuk saksi hidup Saneman yang lahir pada tahun 1912 dan Supar ( 96).
Pada sekitar 1937 tanah pribadi warga Dukuh Jelok yang terletak beberapa kilometer dari Dukuh Karangsubur dibeli pemerintah Belanda melalui Kepala Desa Klaling Suto Sarkam seharga Rp 11 per hektar. Dengan alasan posisi pedukuhan itu sangat jauh dari pusat pemerintahan desa. Setelah Indonesia merdeka tanah warga tersebut menjadi hak milik pemerintah- dalam hal ini Perum Perhutani sampai sekarang
Baca Juga Mbah Saneman, Manusia Tertua di Kudus, Umurnya 109 Tahun
Kemudian dengan uang tersebut warga membeli tanah milik desa di Dukuh Karangsubur seharga Rp 8 per hektar. Dengan ketentuan/ janji/kesepakatan dari desa satu hektar untuk 4 ( empat kepala keluarga/kk). Atau masing masing sekitar 2.500 meter persegi. Ini berdasarkan perhitungan satu hektar sama dengan 10.000 meter persegi. Sedangkan satu hektar terdiri 7 kotak. Atau satu kotak sekitar 1.400 meter persegi. Tanah tersebut dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, Atau sekitar tahun 1957- 1960 secara resmi-sah akan menjadi milik warga
Namun Pemdes ternyata ingkar janji . Selain itu luasanya tanah tidak tidak satu hektar ( 10.000 meter persegi), namun hanya diberikan 5 ( lima ) kotak saja. Atau 5 x 1.400 meter persegi = 7.000 meter persegi. Padahal saat itu tercatat jumlah penerima/warga 108 KK Atau 108 KK dibagi 4 KK = 27 hektar ( 270.000 meter persegi). Kenyataan yang diterima warga hanya : 7.000 x 270.000 = 18, 9 hektar Sisa lebihnya 3000 x 270.000 = 8,1 hektar “menguap” untuk bengko perangkat. Sedang pengukuran tanah dilakukan pada tahun 1938, atau setahun setelah proses jual beli.
Saneman menjelaskan, bapaknya pernah menjadi perangkat desa Klaling, sehingga sedikit banyak saat terjadinya proses “jual beli” tanah di Dukuh Jelok paham. Selain memiliki tanah pertanian/perkebunan/ pekarangan, warga juga sudah memiliki rumah. Namun tidak tahu secara persis berapa luas secara keseluruhan atau pun perkiraan kepemilikan masing masing warga. Dirinya dan warga lainnya juga sempat mempertanyakan “nasib” tanah mereka kepada Pemdes pertengahan 1960.
Hadi menambahkan, jika awalnya jumlah warga Dukuh Karangsubur “hanya” 108 KK, maka saat ini sudah berkembang menjadi sekitar 400 KK. Mereka sebagian besar adalah buruh tani atau menjadi pesanggem( penggarap tanah milik Perhutani), petani, buruh lainnya .
Sedang luas wilayah Desa Klaling tercatat 589 hektar lebih, atau terluas kedua di wilayah Kecamatan Jekulo, setelah Desa Gondoharum yang mencapai seribu hektar lebih.(Sup)