Kudus,Dupanews.id – Lemah iki ojo diukrik- ukrik. Njagani anak turun – Tanah ini jangan “dirubah-rubah”. Menjaga sesuatu untuk anak turun. Itulah pesan terakhir Mundatsir Muri, Ia adalah saudara kandung Sarmidi – pemilik sebidang tanah pekarangan seluas 450 meter persegi yang tercatat di buku C desa Besito nomor 1222, OS.
Sarmidi tidak diketahui keberadaannya dan kemungkinan besar sudah meninggal. Sedang Mundatsir juga telah meninggal. Namun Mundatsir ia menikah dengan dengan Parini (perkawinan pertama) memiliki lima orang anak : Sarikin , Karjo, Masrukan, Kusmijah dan Tarwi.Oleh karena Parini meninggal, maka Mundatsir menikah dengan Kasanah (perkawinan kedua) dan dikarunia tiga anak : Selamet, Suratno dan Badri.
Selama puluhan tahun : tepatnya sejak tahun 1971 hingga tahun 2018, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang membayar keluarga Slamet. Namun sejak 2019 hingga 2021 ini yang menangani keluarga Sarikin. “ Saya ini yang ngopeni dan resik resik tanah ini . Saya diberi amanat bapak saya dan bapak saya diberi amanat dari simbah saya“ ujar Rokhim (41).
baca juga : Kepala Desa Besito dan Ketua PTSL Disomasi, Terkait ‘Tanah Wakaf’
Ia ditemui Dupanews , Minggu 1 Agustus 2021 di rumah Mukhtar yang terletak persis di belakang tanah milik Sarmidi. Sedang Mukhtar adalah anak pertama Slamet dan Rokhim anak bungsu. Dua orang saudara kandung lainnnya Mufatiyah dan Iddah.
Menurut Rokhim dan Mukhtar, sejak pembayaran PBB “diambil alih” keluarga dari perkawinan pertama Mundatsir, mulailah muncul kasus tanah seluas 450 meter persegi tersebut Yang selama ini adem adem saja,
Dimulai dengan pertemuan keluarga dari perkawinan pertama, tanpa melibatkan keluarga dari perkawinan kedua. Intinya tanah itu akan dijual dan akan dibangun “mini market” ( toko serba ada). Namun rencana itu menemui jalan buntu, karena status tanah belum hak milik dan masih berstatius tanah leter C milik Sarmidi.
Lalu dicari jalan lain bekerjasama dengan oknum pengurus Masjid dan desa. Muncullah ide tanah itu diwakafkan lebih dahulu. Guna mempermulus ide itu, maka tanah tersebut diproses untuk menjadi sertifikat tanah hak milik melalui program nasional agraria (Prona) / Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.( PTSL).
Namun proses pensertifikatan tanah yang konon kepala desa dan ketua PTSL bertanggung jawab penuh digugat melalui saluran hukum Sebab samasekali menyalahi prosedur hukum yang berlaku. Pihak Masjid ( oknum) pun perlu dipertanyakan, karena dalam banyak hal tidak lagi membutuhkan lahan ( misalnya untuk parkir dan perluasan bangunan).
Mantan Sekretaris Desa Besito, Saiful mengetahui secara pasti tentang sejarah/riwayat tentang tanah seluas 450 meter tersebut. Sejak dari keaslian buku leter C Desa yang mencatat/mendata tanah itu, hingga orang per orang yang terkait erat dengan “kasus” tersebut. “Memang benar PBB tanah 450 meter yang membayar keluarga Slamet dan yang wira wiri ngurusi Rokhim. Setahu saya selama tiga tahun terakhir tidak/belum ada pertemuan yang membahas tanah tersebut dari kedua belah pihak dan difasilitasi desa. Serta menghadirkan sejumlah saksi/pendamping” ujarnya.
baca juga : Kepala Desa Besito dan Ketua PTSL Disomasi, Terkait ‘Tanah Wakaf’
Penguasaan Fisik Dapat Menimbulkan Hak Baru
Menurut Litigasi 14 Juli 2017 : Pendaftaran hak atas tanah didasarkan kepada bukti formil dan bukti materil. Surat digolongkan sebagai bukti formil. Namun bukti surat saja tidak sepenuhnya kuat membuktikan adanya hak atas tanah.
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tanah terlantar sebagai salah satu sebab hapusnya hak atas tanah. Sedangkan seseorang yang menguasai fisik tanah selama bertahun-tahun dan secara terus-menerus dengan beritikad baik dapat menyampaikan permohonan untuk diberikan hak baru atas tanah tersebut.
Kedudukan hukum penguasaan fisik tanah menjadi sangat penting agar pemegang hak terdorong untuk mengelola, mengurus dan memanfaatkan tanahnya. Aturan tersebut secara implisit bertujuan agar tanah-tanah menjadi produktif dan memiliki nilai ekonomis bagi pemegang hak dan bermanfaat bagi masyarakat umum.
Pemegang hak yang selama bertahun-tahun meninggalkan atau tidak memanfaatkan tanah haknya maka secara hukum dianggap telah meninggalkan haknya. Hal itu ditegaskan di dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, diantaranya adalah:
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 295 K/Sip/1973 Tanggal 9 Desember 1975
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 329 K/Sip/1957 Tanggal 24 September 1958
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 783 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976
(Sup)