Kudus, Dupanews.id – Radikalisme tidak hanya berurusan dengan politik. Tidak juga hanya berkaitan dengan agama. Tetapi, juga bergandengan dengan korupsi.
“BUKTI RADIKALISME KORUPSI REPUBLIK,” begitu tulis Ketua Bidang Hukum dan HAM Pimpinan Muhammadiyah Busyro Muqoddas di WhatsApp (WA), suatu pagi setelah tersiar berita Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah ditahan KPK atas kasus dugaan suap.
Pada pagi dan hari yang sama, anggota DPR (2004-2009) dan salah seorang pendiri PAN, Abdillah Toha juga lewat WA mengirimkan artikel karya Buya Syafii Maarif, berjudul Republik Sapi Perah yang dimuat harian Kompas.
Baca Juga : Lewat Proklim, H.M Hartopo Targetkan Lingkungan Rahtawu Kembali Pulih
Tentu tidak janjian kalau kedua tokoh itu mengirimkan informasi lewat WA, pada pagi yang sama. Pun pula berisi pesan yang sama. Ada nada keprihatinan yang mendalam; atau mungkin lebih dari sekadar “prihatin.” .
Pak Busyro menuliskan dengan menggunakan huruf besar semua. Tentu, itu sebuah kesengajaan. Bukan tanpa maksud. Jelas ada maksudnya. Sekurang-kurangnya ingin menegaskan bahwa korupsi pun sekarang sudah dilakukan secara radikal. Jengkel! Kira-kira perasaan itu yang menguasai hati dan pikiran Pak Busyro pagi itu.
Pak Abdillah Toha pun demikian: jengkel. “Bagaimana bisa seorang pejabat yag dikenal pekerja keras dan jujur kejeblos dalam tindak korupsi? Godaan kekuasaan itu memang dahsyat. Jangan coba jadi penguasa kalau anda tidak siap dari awal perang melawan setan. Kekuasaan itu dikelilingi setan setan .” Begitu tulis Pak Abadillah di Twitternya yang mengungkapkan perasaan pikiran dan hatinya.
Baca Juga : Lewat Proklim, H.M Hartopo Targetkan Lingkungan Rahtawu Kembali Pulih
Wajar kalau kedua tokoh itu jengkel atau bahkan marah dengan kelakuan para pejabat yang korup itu. Kejengkelan dan kemarahan keduanya mewakili kejengkelan dan kemarahan masyarakat banyak. Apalagi tindak korupsi itu dilakukan ketika masyarakat negeri ini masih dijerat oleh pandemi Covid-19 dan berjuang untuk mengatasinya.
Dalam tempo sembilan hari, akhir tahun lalu, dua menteri berurusan dengan KPK: tanggal 26 November 2020, Eddy Prabowo (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Juliari Peter Batubara (mantan Menteri Sosial), tanggal 5 Desember 2020. Eddy Prabowo, korupsi ekspor benih lobster, menerima suap total Rp 10,2 miliar dan Juliari Peter Batubara, korupsi bantuan sosial penangangan Covid-19, korupsi senilai Rp 8,2 miliar (Kompas, 1/3).
Siapa yang tidak jengkel, uring-uringan, marah, dan segala bentuk ketidaksukaan ketika tahu seperti itu. Tetapi, mungkin, ada juga yang sudah nggak peduli, cuek, dan tak mau tahu.
Mengapa? Bisa jadi karena sudah demikian banyaknya orang yang korupsi, entah itu pejabat pemerintah pusat atau daerah, legislatif (entah DPR maupun DPRD), maupun yudikatif dan dihukum tetapi tetap saja masih ada. Ibarat jamur di musim penghujan, terus tumbuh. Ganas seperti Covid-19.
Baca Juga : PUPR Ada Sejumlah Pilihan Untuk Atasi Banjir di Kudus
Jelas, tidak perlu diperdebatkan, yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk penyelewengan. Mereka tidak hanya menyelewengkan aturan, ketentuan, dan kinerja pemerintah. Tetapi, juga merupakan penyelewengan moral. Karena itulah teolog dari Italia Thomas Aquinas (1224-1274) berpendapat (B Herry Priyono, 2018):
Pertama, korupsi menyangkut kemorosotan jiwa dan pembusukan karakter personal. Kedua, korupsi sebagai kemorosotan kualitas bentuk pemerintahan. Ketiga, korupsi sebagai penyelewengan kepercayaan publik dan penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan jabatan publik.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pertama, korupsi merusak sendi-sendi penopang “hidup baik bersama dan untuk orang lain…” karena yang dicari adalah kepentingan diri atau kelompok saja. Kedua, korupsi menghalangi upaya membangun institusi-institusi yang lebih adil. Karena pada dasarnya korupsi adalah wujud ketidakadilan dan beroperasi melawan perwujudkan kesejahteraan bersama (Haryatmoko, 2003).
Akar kesemua itu adalah nafsu akan keruntungan diri dan ketamakan. Geoffrey Chaucer (1343-1400 CE) penyair, penulis, dan filsuf dari Inggris mengatakan, Radix malorum est cupiditas, akar dari kejahatan (korupsi) adalah nafsu.
Dalam bahasa pemikir besar Islam abad ke-14, Ibn Khaldūn, korupsi dirumuskan sebagai “perbudakan kepada nafsu.” Segala bentuk nafsu jahat.
Karena menjadi “budak nafsu” itulah korupsi telah menghancurkan pilar politik yang bertanggung jawab. Politik yang bertanggung jawab adalah politik yang memiliki ororitas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuasaan.
Apalagi, kini kejahatan korupsi itu sudah menjadi radikal. Kata radikal berasa dari kata dalam bahasa Latin yakni radix yang berarti akar, pangkal, bagian bawah, dan dasar. Artinya kejahatan korupsi sudah “berurat akar”, sudah sedemikian sistematis sehingga seperti mafia.
Baca Juga : PUPR Ada Sejumlah Pilihan Untuk Atasi Banjir di Kudus
Akibatnya, korupsi menjadi tindakan praktis yang tidak melahirkan rasa bersalah pelaku; bahkan dianggap sebagai tindakan biasa saja. Maka adalah tidak aneh, setiap orang yang masuk ke struktur kekuasaan tergoda dan akhirnya jatuh melakukan korupsi.
Maka benar yang ditulis Pak Abdillah Toha dalam Twitternya, “…Jangan coba jadi penguasa kalau anda tidak siap dari awal perang melawan setan….” Karena itu, di mana pun terjadi, korupsi itu sangat merusak: membusukkan, menghancurkan. Tidak hanya karena dampaknya pada integritas dan pemerintahan yang baik, tetapi masuk ke jantung salah satu nilai-nilai kemanusiaan yang paling penting yakni kepercayaan. Tanpa, kepercayaan demokrasi terancam.
Padahal, setiap orang sebenarnya punya pilihan apakah akan ikut larut dalam godaan atau mampu secara tegas menolak kejahatan. Setiap orang disodori pilihan, ”kejujuran dan ketidakjujuran, kesetiaan dan ketidaksetiaan, egoisme dan altruisme, kebaikan dan kejahatan.”.
Tetapi, mereka yang sudah “menjadi budak nafsu” tidak lagi mempertimbangkan semua itu. Inilah yang melahirkan radikalisme korupsi yang hanya bisa diatasi dengan radikalisme tindakan hukum. Sebab, korupsi sudah menghancurkan pilar kehidupan politik yang bertanggung jawab.
Korupsi, sepatah kata yang akrab bagi telinga kita. Ini tindakan penyelewengan moral. Kata Thomas Aquinas.Ibn Khaldun bahkan merumuskan korupsi sebagai “perbudakan kepada nafsu.” Segala bentuk nafsu jahat.Karena menjadi “budak nafsu” itulah korupsi telah menghancurkan pilar politik yang bertanggung jawab. Yakni, mengutamakan kesejahteraan bersama, bukan nafsu pribadi.Tetapi, karena nafsu serakah, para koruptor telah membutakan telinga dan mata hatinya. Dan, menganggap itu tindakan biasa. (Trias Kuncahyono/sup)