Bebas

Di Kaki Gunung Merapi Oleh Trias Kuncahyono

Share

Mbah Yono. Begitu namanya. Para koleganya pun memanggilnya Mbah Yono. Usianya belum tua-tua amat: 63 tahun. Tetapi, semua orang memanggil lelaki berbadan tegap, berkulit hitam, beruban meski masih bercampur rambut hitam, dengan sorotan mata jujur penuh persaudaraan itu, Mbah Yono. Mungkin, karena dia dituakan.Selama beberapa tahun, Mbah Yono menekuni pekerjaan sebagai sopir taksi di Kota Yogya. “Tetapi, taksi argo, dapat saingan taksi online. Persaingan makin lama makin berat. Dan, empat tahun lalu, kulo memutuskan untuk berhenti,” kata Mbah Yono sambil mengendalikan Jeep Willys yang disopirinya menyusuri jalan berbatu, naik-turun berkelok-kelok sempit di rute lava tour Merapi.

Jeep Willys adalah jeep legendaris yang pertama kali dibuat tahun 1941 oleh AS dan sekutunya untuk dijadikan sebagai kendaraan perang pada PD II. Setelah digunakan pada PD II, Jeep Willys masih dilibatkan pada Perang Korea (1950-1953).

Dwight D. Eisenhower, Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Eropa dalam PD II, menulis dalam memoarnya bahwa sebagian besar perwira senior menganggap Jeep Willys sebagai salah satu dari lima peralatan yang paling penting dalam meraih kesuksesan perang di Afrika dan Eropa. Jenderal George Marshall, Kepala Staf Angkatan Darat AS selama perang, mengatakan Jeep Willys memberikan kontribusi terbesar bagi Amerika dalam perang modern.”

Pekerjaan sebagai sopir Jeep Willys hijau ditekuni sejak empat tahun lalu. Mbah Yono melayani para wisatawan yang ingin berpetualang di kawasan yang tahun 2010 disapu letusan Gunung Merapi. Para wisatawan tidak hanya melihat Gunung Merapi saja, namun juga akan diajak melihat keindahan alam sekitar dan juga bisa melihat matahari terbit di pagi hari atau matahari terbenam di sore hari.

Sepanjang perjalanan tour, Mbah Yono layaknya seorang pemandu wisata, menjelaskan tempat-tempat yang dilalui. “Kita sekarang di Dusun Petung. Dusun ini pada tahun 2010 disapu awan panas. Itu puing-puing rumah penduduk, “kata Mbah Yono.
Ketika kami melewati pemakaman, Mbah Yono menceritakan di tanah makam itu dimakamkan para korban erupsi Gunung Merapi. Aktivitas seismik Gunung Merapi dimulai pada akhir September 2010, dan menyebabkan letusan pada hari Selasa, 26 Oktober 2010.

Akibat letusan sedikitnya 353 orang tewas, termasuk kuncen Gunung Merapi Mbah Maridjan. Kata Mbah Yono, kebanyakan mereka yang tewas adalah orang-orang yang tidak mau dievakuasi. Mereka bersembunyi di tegalan; dan tegalan itu disapu awan panas.

Foto Trias Kuncahyono
Foto Trias Kuncahyono

Mbah Yono kerja multi-tasking secara profesional. Ia menjadi sopir. Ia menjadi pemandu wisata. Ia juga menjadi juru foto bagi wisatawan yang diantarkan mengunjungi tempat-tempat menarik dan bersejarah. “Bagus banget kalau foto di sini, Pak,” katanya di jalan menanjak yang berlatar-belang Gunung Merapi yang begitu perkasa dan elok.

Semuanya dilakukan dengan kesungguhan dan hati riang, serta semangat pelayanan tulus, membuat wisatawan yang diantarnya senang dan puas. Mbah Yono cerita apa adanya. Pengalaman hidupnya. Perjuangannya untuk keluar dari cengkeraman pandemi Covid-19. Selama pandemi, praktis tidak ada wisatawan dan itu berarti tidak ada yang meminta jasanya untuk menyusuri jalur lava tour. Dan, tidak ada pemasukan.

Meski sepi wisatawan, Mbah Yono tidak putus asa. Ia tetap berusaha, bekerja apa saja biar daput tetap ngebul. Memang, Mbah Yono tidak memahami apa yang dikatakan orang-orang pinter bahwa kerja merupakan dasar untuk membangun hidup berkeluarga yang termasuk hak kodrati dan panggilan manusia. Tetapi, ia dengan penuh kesungguhan melakukannya.

Kerja adalah salah satu ciri yang membedakan manusia dari mahkluk ciptaan lainnya. Hanya manusialah yang mampu bekerja; hanya manusialah yang bekerja, dan serta-merta dengan kerjanya mengisi hidupnya di dunia.

Kerja itu baik bagi manusia, baik bagi kemanusiannya. Karena melalui kerja, manusia tidak hanya mengubah alam, menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, melainkan mencapai pemenuhan juga selaku manusia. Dan, memang dalam arti tertentu dengan bekerja manusia menjadi “lebih manusiawi.”

Ilustrasi


Mbah Yono adalah gambaran wong cilik yang belum kehilangan dua keutamaan yang paling dasar: kejujuran dan keberanian. Di zaman sekarang ini, orang seperti Mbah Yono, sangat dibutuhkan. Ia bagaikan bintang kecil yang menggantung di langit yang gelap gulita.

Langit menjadi gelap-gulita karena begitu banyak wong gede (akhirnya menulari wong-wong cilik) yang sudah kehilangan kedua keutamaan paling mendasar itu. Kejujuran telah dikalahkan kebohongan. Seorang penyair dan penulis esai-esai satir dari Irlandia, Jonathan Swift (1667-1745) mengatakan, kebohongan dapat menjelajah ke separuh dunia selagi kebenaran masih memakai sepatunya (Tom Phillips, 2019).

Belakangan ini, kejujuran dalam banyak hal kalah dengan kebohongan. Kata Thomas Dekker (1572 – 1632) seorang penulis dari Inggris, kebenaran memiliki seorang ayah, tetapi kebohongan adalah anak haram dari seribu ayah, dan dilahirkan di segala tempat. Kebenaran itu lahir dari kejujuran.

Karena saking langkanya kejujuran, maka orang lupa arti kejujuran. Apa itu kejujuran? Kata Romo Franz Magnis-Suseno (2004), yang dimaksud dengan kejujuran adalah apakah yang dikatakan adalah apa yang diyakini sebagai memang benar, dan bukan apa yang menguntungkan, yang diharapkan, yang dituntut, yang sesuai sesuai dengan pendapat umum, yang sesuai dengan dogma-dogma para penguasa kehidupan ideologis masyarakat.

Kejujuran membutuhkan keberanian. Orang yang jujur harus memiliki keberanian; keberanian untuk mengungkapkan apa pun apa adanya, tidak dibuat-buat, bukan pesanan, bukan pulasan, bukan sekadar untuk membuat orang lain senang, menyenangkan pihak lain, bukan untuk mencari keuntungan diri. Maka sangat wajarlah kalau orang jujur dibenci mereka yang pura-pura jujur, orang-orang bertopeng.

Sekarang memang banyak orang bertopeng. Dengan bertopeng, identitas seseorang bisa dikaburkan. Jati dirinya disamarkan. Hidup penuh kebohongan dan kemunafikan. Untuk menjaga citra diri, seseorang akan selalu melakukan pertunjukkan, performance, di hadapan masyarakat umum. Kaum dramaturgi memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran mereka.

Manusia gemar bertopeng. Karena, manusia bertopeng ketakutan bahwa dunia akan menemukannya apa adanya. Salah satu ketakutan terbesar itu jika jati diri sesungguhnya, terbongkar. Apa lagi hidup di era sosial media sekarang yang disebut-sebut penuh pencitraan.


Belum pernah dalam sejarah umat manusia ketika citra diri dipoles sedemikian agar selalu cemerlang. Banyak orang ingin terlihat pandai, dermawan, menawan, pengasih, toleran, saleh, agamis, lembut, cantik, dan tak pernah hitung-hitungan. Nah ketika dunia menemukan bahwa sesungguhnya tidak lah seperti itu, citra palsu itu seketika berkeping. Harga diri jatuh bersamaan dengan luka hati.


Tidak demikian dengan Mbah Yono. Ia apa adanya. Orang desa yang menjalani kehidupan ini penuh dengan penuh sumarah, legawa–dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati, ihklas–tetapi tidak berdiam diri. Ia bangkit berdiri dan berusaha dengan menyandarkan kepada Yang Ilahi.


Mbah Yono selalu berpegang teguh ajaran para leluhur bahw urip iku urup, hidup itu harus menyala. Hidup harus selalu dibuat menyala dengan membantu orang-orang di sekitar. Intinya harus bisa memberi manfaat baik itu hal kecil maupun hal yang besar.

Selamat Tahun Baru 2022……(Sup)..

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button