PURI “GEDEH” Oleh :Trias Kuncahyono
Hujan masih turun tipis-tipis ketika kami tiba di depan Puri “Gedeh”, Semarang. Aspal di jalan basah. Ketika itu, pukul 18.30, pekan terakhir bulan Desember 2021. Kami—aku, istri, dan anakku—berdiri di depan pintu gerbang bangunan yang merupakan salah satu Cagar Budaya di Kota Semarang.
Puri “Gedeh.” Bangunan yang sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Tengah itu, menurut sebuah catatan, dulunya rumah pribadi orang Belanda, Helly. Ada yang menyebut rumah yang dibangun pada tahun 1925 itu hasil karya arsitek T. TH Van Oyen. Tetapi, yang lain mengatakan, karya Liem Bwan Tjie (1891-1966), generasi pertama arsitek moderen Indonesia, asal Semarang; dan dulu bernama vila BT Liem.
Liem Bwan Tjie adalah orang Indonesia pertama yang pernah belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Delft, Belanda. Dia juga pernah menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool di Delft pada 1920 dan Ecole des Beaux Arts, sekolah seni dan arsitektur di Eropa paling bergengsi pada waktu itu (Handinoto, 2004).
Gubernur Soepardjo Roestam-lah yang pertama kali menempati bangunan itu sebagai rumah dinas gubernur. Dan, diikuti para gubernur lainnya. Sekarang ditempati Gubernur Ganjar Pranowo. Puri “Gedeh”—kata “puri” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti istana, keraton; dan “gedeh”, berarti besar—banyak ceritanya, terutama akhir-akhir ini menjadi sorotan media, berkait dengan hiruk-pikuk panggung politik nasional.
Namun, kami datang ke Puri “Gedeh” bukan untuk bicara soal politik; utamanya politik kekuasaan. Kami datang untuk bersilaturahim dan sekadar ngobrol di akhir tahun. Sehari sebelumnya, dari Yogyakarta, saya kontak Pak Ganjar lewat WA: “Pak, saya bisa sowan?” Dan, segera dijawab, “Mangga, Mas. Silakan.” Dan, kami pun ketemu, meskipun saya salah waktu, datang sehari lebih cepat. Tetapi, “Masuk saja, Mas,” tulisnya lewat WA.
Sebenarnya, ngobrol soal politik dengannya sangat menarik. Apalagi kalau ngobrolin soal intrik-intrik, tipu daya, manuver-manuver, muslihat-muslihat politik. Sebab, membicarakan intrik politik, misalnya, berarti membicarakan para aktor yang berintrik; dan bagaimana mereka memainkan intrik untuk mencapai tujuannya.
Politik tak bisa lepas dari intrik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata intrik—yang berakar dari bahasa Latin, intricare (menyusahkan, membingungkan), lalu bahasa Italia, intrigare (mencampuri, merencanakan dengan diam-diam, dan membingungkan), kemudian masuk dalam bahasa Perancis, intriguer (main curang, menimu, mencurangi, dan memperdaya, menipu)–berarti penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan. Menjelang pemilu nanti akan bertebaran intrik, yang sekarang sudah mulai bermunculan.
Dalam politik selalu ada hubungan pertentangan (antagonistic), persaingan (adversarial), dan bekerja sama (collaborative) baik dengan rekan atau lawan. Meski demikian, ada kecenderungan umum dalam politik, di mana tiap aktor biasanya memiliki kehendak untuk menyelesaikan berbagai perbedaan itu melalui mekanisme yang disepakati.
Politik sering dikatakan sebagai―the art of possible atau seni kemungkinan yang ditandai dengan kompromi antar aktor. Sehingga, praktik politik seharusnya berkorelasi dengan negosiasi, perundingan, dan take-and-give, serta menghindar menggunakan pendekatan zero sum game yang kaku dan non-kompromisitk. Maka Marcus Tullius Cicero (106 SM- 43 SM), tokoh politik zaman Romawi mengatakan, politik tidak sebersih pertandingan gulat, tidak pula dimainkan menurut peraturan yang tetap.
Sekarang ini yang namanya manuver-manuver politik untuk membangun jalan ke tahun 2024, sudah banyak dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara. Juga intrik-intrik politik. Penggalangan kekuatan pun juga sudah dilakukan oleh para aktor politik. Di mana-mana ada deklarasi-deklarasi mendukung tokoh atau aktor politik tertentu.
Tingkah polah para aktor atau yang merasa aktor politik, macam-macam. Banyak yang merasa sebagai tokoh, merasa memiliki kompetensi, dan merasa terpanggil untuk menjadi pemimpin. Dalam dunia yang rasional dan politik rasional sekarang ini, yang memilih para wakilnya dan pemimpinnya melalui pemilu, yang demokratis, one man one vote, yang tidak rasional pun masih tetap dipercaya dan diyakini. Misalnya, soal “Satrio Piningit”.
Kalau politik hanya diartikan semata-mata sebagai pertarungan kekuatan untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, maka orang lantas menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Saat itu, politik merosot menjadi bisnis, karena terjadi transaksi. Maka tujuan luhur politik yakni menciptakan sebuah bonum commune, kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama tak tercapai. Demikian pula, apa yang dikatakan oleh seorang ahli politik AS, Peter Merkl, bahwa politik adalah bentuk usaha yang paling baik untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan pun akan jauh dari kenyataan.
Dalam kondisi seperti itu—ketika politik menjadi bisnis, ketika politik menghalalkan segala cara, ketika politik hanya bicara soal kekuasaan—jangan harap ada politik welas asih, politik berhati nurani, politik bermoral, politik berkeadaban. Maka jelas bagi kita apa yang disebut real politics itu menyimpang dari yang luhur dan mulai. Tidak aneh kalau muncul orang yang berambisi besar dan berotak keledai, dalam politik.
Kami tidak ngobrol hal-hal itu. Ditemani teh hangat dan lumpia, kami ngobrol soal aktivitas Ganjar sebagai gubernur. Ia bercerita tentang perjalanannya blusukan bertemu rakyatnya di seluruh pelosok Jawa Tengah. Ia mendengarkan keluhan dan masukan rakyatnya.
Dengan bersepeda, ia menemui banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Sebab, kata orang-orang bijak, pemimpin harus sering melakukan perjalanan incognito, hadir di tengah masyarakat untuk mendengarkan suara rakyat sejujur-jujurnya. Pemimpin pun harus jujur mendengarkan kejujuran rakyat.
Mengapa blusukan dan mendengarkan suara rakyat? Kata Ganjar, suara rakyat itu berbeda dengan suara elite. Suara rakyat pada umumnya meneriakkan kebenaran, meminta keadilan. Keadilan dan kesejahteraan merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai dalam kehidupan bernegara.
Suara rakyat bukan kepura-puraan. Demokrasi memang membutuhkan kejujuran. Berkomunikasi secara jujur. Sebab, demokrasi hanya berkembang dalam jiwa dan struktur sosial yang sehat.
Kata Romo Mangunwijaya (1997), demokrasi bagaikan tananam hidup memerlukan tanah-tumbuh yang pas. Apakah salah satu syarat mutlak demokrasi? Suatu bangsa yang cukup rasional dan cukup cerdas. Bangsa yang emosional melulu dan setiap kali mudah terbakar retorika atau isu, tidak dapat berdemokrasi. Bangsa yang mudah mata gelap, mengamuk, dan hantam kromo, mustahil berdemokrasi. Bangsa atau orang yang tidak sportif, tidak fair play, mudah marah ngawur jika kalah, juga tidak bisa berdemokrasi. Bangsa yang mudah tersinggung, juga tidak bisa berdemokrasi.
Demokrasi membutuhkan masyarakat yang n rasional. Bangsa yang demokratis adalah bangsa yang terdidik. Memang, Ganjar tidak memungkiri ada suara setingan juga. “Biasa itu, Mas,” katanya disambung tawa lepasnya.
“Mas, Jateng juga punya program ndandani omah,” kata Ganjar. Ia lalu bercerita panjang lebar tentang program fasilitasi kepemilikan rumah untuk warga miskin. Program inovasi itu bernama Jagani Omah Bareng Arum atau Jateng Gayeng Ndandani Omah bareng aplikasi Sistem Informasi Manajemen Perumahan (Simperum).
Kata Ganjar, tujuan dalam program rumah ini dapat meminimalisasi angka backlog rumah di Jateng dengan sasarannya masyarakat miskin non-bankable yang tidak memiliki rumah. Program diwujudkan berupa bantuan sosial stimulan pembangunan rumah bagi keluarga miskin yang belum memenuhi syarat rumah layak huni. Ia juga menggandeng BUMN dan BUMD seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) se-Jawa Tengah.
Kami ngobrol ke sana ke mari dengan menggunakan bahasa Jawa kadang-kadang bahasa Indonesia. Kami tertawa lepas. Sementara hujan di luar masih terus turun. Ganjar cerita tentang tamu-tamunya, dari berbagai pelosok negeri ini, yang banyak juga tidak dia kenal. Ia juga bercerita bertemu dengan para mahasiswa dari pelbagai universitas; bertemu dengan murid-murid sekolah; bercerita tentang bagaimana mengajak rakyatnya untuk bersama-sama melawan pandemi Covid-19. Ia juga bercerita tentang sekolah-sekolah vokasi.
Di Puri “Gedeh”, malam itu lebih dari satu jam, kami ngobrol banyak hal. Kami tertawa, Kami minum teh, Kami makan lumpia, yang menurut Ganjar, lumpia paling enak. Maka kunikmati dengan sepenuh hati.
Sebelum pamit pulang, sempat saya sampaikan:
“Pak, negeri ini mencari pemimpin yang tegas, penuh tanggung jawab, dan berani mengambil risiko, seperti Pak Jokowi. Pendek kata, mencari pemimpin yang mau bekerja sungguh-sungguh tidak hanya pandai bicara dan rela berkorban dalam segala hal—perasaan, tenaga, dan juga pikiran—untuk kemajuan bangsa dan negara. Dan, yang tidak kalah penting: tidak korup. Sebab, kekuasaan memberikan banyak kemewahan bagi manusia. Tetapi, dua tangan yang bersih jarang termasuk di dalamnya. Negeri ini juga mencari pemimpin yang tegas tapi tidak kejam. Sebab, di bidang politik, kelembutan hati selalu dipandang sebagai kelemahan.”
Mendengar omongan saya itu, Ganjar tertawa.
Dan, dengan iringan tawa Ganjar, kami tinggalkan Puri “Gedeh” malam itu (Sup)