Kudus, Dupanews.id – Peminat karya seni lukis di Kabupaten Kudus cukup tinggi. Tetapi sebaliknya peminat untuk membeli tergolong rendah. Sedang untuk menjadi perupa hampir 90 persen lebih ditentukan dengan praktek keseharian. Bakat dan “keturunan” pun hanya menyumbang sekitar lima persen saja.
Perupa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seniman dalam seni rupa. Sedang seni rupa : merupakan cabang seni yang bentuk perwujudannya dapat dilihat dan diraba. Perwujudannya terdiri dari unsur rupa berupa titik, garis, bidang atau ruang, bentuk atau wujud, gelap terang, dan tekstur.
Hal itu diungkapkan perupa anggota Perupa Kudus (Paku ), Solichin, Hendra dan Otong, dalam obrolan santai dengan Dupanews di Warung Seni Joglo Sawah (Jogsa), Kamis (25/11/2021) . “ Salah satu buktinya, ketika saya mengajar terhadap 80 siswa di salah sekolah di Kudus. Waktu itu saya berpikir, paling peminatnya Cuma 10 siswa saja,” tutur Solichin.
Solichin mau mengajar, karena rindu terhadap profesi awal sebagai salah guru perupa di Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri di Kudus. Ketika ada yang menawari untuk mengajar langsung diterima, meski honornya cuma Rp 200.000 sebulan. “ Honor tersebut tidak masuk saku, tapi untuk membelikan peralatan melukis bagi para siswa. Tentu saja kurang, karena harganya lumayan mahal dan kebutuhannya juga cukup besar,” tambahnya.
Sedang Otong yang berlatar belakang pendidikan di akuntansi dan Hendra dari IAIN Kudus, mampu menjadi perupa karena nyaris setiap saat praktek melukis. Namun ketiga perupa ini sepakat, jika pembeli hasil karyanya relative kecil/sedikit.
Misalnya sekelas perusahaan besar dan orang berduit di Kudus tidak tergerak untuk membeli hasil karya Paku. Hal ini bisa disebabkan mereka membeli karya perupa yang jauh lebih terkenal-meski dengan harga mahal. Namun juga karena memang minat belinya rendah.
Sebagian besar perupa di Kudus memang tidak pernah mengandalkan sumber utama penghasilan mereka dari hasil karyanya, melainkan dari profesi lain. Mereka sebenarnya membutuhkan tempat sebagai “ruang pamer”. Sekaligus sebagai ruang pertemuan komunitas seni.
Selama ini untuk menggelar kegiatan semacam itu dibantu sejumlah pengusaha yang kebetulan memang pernah bergelut di bidang seni. Atau paling tidak memiliki jiwa seni.
Uplik
Seperti lokasi pameran di Joglo Sawah yang empunya warung memang tergolong seniman. Dan sebagai semacam respon terhadap karakter ruang pamer itu sendiri. Jadi bentuk karyanya berupa media bebas yang dimaksudkan sebagai bagian dari interior Joglo Sawah.
Karya seni tidak berkehendak untuk merubah. Apalagi merusak, karakter interior dan eksterior. Bahkan dimaksudkan sebagai upaya membangun suasana yang berbeda dan menguatkan .
Bagi segenap anggota Paku, rasa, karya menjadi karya api dalam jiwa terus menggelora. Menjawab rasa gundah gulana. Sekumpulan perupa ini akan memberi warna dalam tradisi Kudus luhur budi pekerti. Kudus suci langgeng lestari. Meski hanya sekedar uplik.
Sebuah esensi bnetuknya yang sederhana sekali. Namun berperan sebagai suluh untuk membuka jalan. Harapan dari filosofi uplik ini akan tumbuh semangat besar dan terjaga. Meski kecil, redup, tapi tetap menyala menerangi kegelapan. Semoga .(Sup)