Sejarah Gereja Katolik dan GKJ Kudus
Kudus,Dupanews- Gereja Katolik Santo Yohanes Evangelista di Jalan Sunan Muria nomor 6 dan Gereja Kristen Jawi (GKJ) di Jalan Diponegoro nomor 19 Kota Kudus ternyata memiliki sejarah tersendiri. Khususnya menyangkut gedung/bangunannya.
Menurut data yang dihimpun- terutama dari laman kas.or.id, gedung gereja katolik yang pertama dibangun pada 17 Juni 1911 dan diresmikan pastor P Neijboer terletak di Jalan Kawedanan (sekarang Jalan Diponegoro 19 Kudus).
Berdasarkan letak geografis dan perkembangan-peningkatan umat Katolik Kudus mendapat perhatian dari Keuskupan Agung Semarang dan menjadi pertimbangan untuk menjadikan stasi Kudus menjadi sebuah paroki.
Selain pertimbangan tersebut, umat stasi Kudus dipandang sudah cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan keuangan dan administrasi sebuah paroki. Tahun 1939 Pastor Y. Van Beek, MSF mempersiapkan pendirian paroki Kudus. Gedung yang semula digunakan sebagai kapel kemudian difungsikan menjadi gereja. Gedung gereja di Jalan Kawedanan diresmikan menjadi paroki Kudus pada tanggal 1 Januari 1939, dan pastor pertama yang ditugaskan di Paroki Kudus adalah Pastor J. Vander Steegt, MSF.
Semasa jaman Jepang di Indonesia gereja mengalami goncangan yakni hampir semua gereja kehilangan pimpinan. Demikian pula yang terjadi di paroki Kudus, semua pastor ditawan tentara Jepang di dalam kamp tahanan. Pada saat itu pastor paroki Kudus yang ditawan adalah pastor J. Komen, MSF dan pastor A. de Koneng, MSF.
Selama para misionaris Belanda dalam kamp tahanan kegiatan dan karya misi gereja berhenti, begitu juga dengan kegiatan sekolah yang ditangani pastor-pastor Belanda. Pada saat itu pula karya misi gereja mulai ditangani pastor-pastor pribumi. Pastor-pastor pribumi pertama yang baru datang dari negeri Belanda yakni Pastor IM. Haryadi (1944-1945) dan Pastor D. Adisoedjana MSF (l946-1948). Karena tidak mempunyai pastoran lagi, maka apabila berkunjung ke Kudus, para pastor tersebut tinggal di rumah Keluarga Lie Swie Liat (Jalan . A. Yani 100 Kudus).
Pada tahun 1952 paroki Kudus mengalami peningkatan jumlah umat, akibatnya gereja pertama di Jalan Kawedanan yang mempunyai daya tampung 300 umat itu, sudah tidak mampu menampung umat lagi. Melihat itu pastor A. de Koneng, yang kembali lagi ke Kudus tahun 1952, mulai merintis pendirian gereja baru.
Sebagai langkah awal adalah mencari tanah untuk bangunan gereja. Tidak lama kemudian pada tahun 1953, pastor A. de Koneng menemukan tanah di Jalan Ngantenan (sekarang Jalan Sunan Muria no 6 Kudus). Dahulu pemilik tanah ini adalah seorang Belanda bernama Bushoar, kemudian tanah itu dibeli seorang Arab dari Semarang untuk digunakan sebagai asrama.
Dari sinilah pastor A. de Koneng bersama dengan Mgr. Albertus Soegijapranata mengadakan pembicaraan dengan orang Arab tersebut, dan akhirnya tanah di Jalan Ngantenan dibeli. Dana untuk pembelian tanah berasal dari salah satu umat, yakni keluarga The Tjieng Swan, seorang direktur perusahaan rokok Prawoto.
Pembangunan gereja kedua di Jalan Ngantenan dibangun pastor A. de Koneng pada tahun 1954. Dengan bantuan dana dari umat, pembangunan gereja secara keseluruhan selesai pada tahun 1955, dan diberkati Mgr. Albertus Soegijapranata pada tanggal 24 April 1955.
Sehingga Gereja di Jalan Kawedanan pun sudah tidak digunakan lagi dan pada tanggal 4 Agustus 1960 dibeli Gereja Kristen Jawa (GKJ) atas ijin dari Mgr. Albertus Soegijapranata. Dengan demikian disimpulkan : gedung Gereja Katolik Santo Yohanes Evangelista di Jalan Sunan Muria 6 Kudus tersebut dibangun pada tahun 1954/1955 dan diresmikan pada 24 April 1955.
Kemudian terhitung sejak 4 Agustus 1960, gedung/bangunan ini berubah menjadi Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang ditengarai sampai sekarang tidak pernah merubah bentuk keaslian dari bangunan yang telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya tersebut. Hanya terbatas pergantian ringan/kecil, termasuk “papan nama “ GKJ Kudus. Sebagai pembeda dari Gereja Katolik Santo Yohanes Evangelsita di Jalan Sunan Muria 6 Kudus.
Gereja Katolik ini dalam perkembangannya mampu melebarkan sayap dan memunculkan stasi-stasi di Tanjungrejo (1966), Rejosari (1968), Ngrangit (1968), Bulung (1968) dan Cranggang. Stasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya wilayah keuskupan yang akan menjadi paroki.
Stasi dibangun agar umat semakin bersekutu dan menghadirkan wajah gereja di tengah masyarakat.(Sup)