Kudus, Dupanews.id – Keputusan menghentikan kegiatan penambangan batu bata ( selanjutanya disebut bata) di Desa Klumpit Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus terkesan tanpa perhitungan yang matang. Tanpa adanya tindak lanjut atau program nyata untuk mengatasi-jalan keluarnya. Pokoke tutup, ganggu lingkungan
Dan benar sudah sejak Jumat pekan lalu, tidak ada lagi armada truk yang hilir mudik mengangkut dan menurunkan tanah liat-bahan pokok untuk pembuatan bata. Armada yang dimaksud sebenarnya cuma dua dump truk milik Yatman. Itupun sudah seijin, sepengetahuan dan kesepakatan dengan warga serta para pengrajin bata.
Sebab, proses penambangannya tidak menggunakan alat berat- alias hanya dengan cangkul dan penjualannya terbatas pada pengrajin bata Desa Klumpit saja. Selain itu harga tanah liat itu lebih murah jika membeli dari desa/daerah lain.
Hanya saja ketika proses penambangan secara manual ini berlangsung beberapa hari, munculah sejumlah penambang baru. Dengan menggunakan alat berat dan operasionalnya sembunyi sembunyi. Malah konon juga beroperasi malam hari.
Model penambangan inilah yang diduga illegal dan menggangu lingkungan. Kemudian munculah laporan ke berbagai pihak yang di belakangnya ternyata ada gendruwonya. Maka lahirnya berita acara yang ditanda-tangani bersama di Kantor Sapol PP Kudus.
Tanpa irigasi teknis.
Berdasarkan pelacakan langsung di lapangan, maupun data tertulis yang dikumpulkan Dupanews.id, Desa Klumpit yang memiliki lahan seluas sekitar 337 hektar (pembulatan) tidak memiliki irigasi teknis. Padahal dari luas tersebut 233 hektar diantaranya adalah lahan pertanian.
Dengan rincian 195 hektar diantaranya hanya mengandalkan irigasi setengah teknis dan selebihnya adalah lahan kering. Kondisi lahan seperti itulah yang menjadikan sektor pertanian desa Klumpit tidak mampu dioptimalkan. Nyaris setiap tahun sebagian besar lahan hanya ditanami tebu dan polowijo.
Maka banyak pemilik tanah yang beralih menjual tanahnya untuk dijadikan bahan baku bata. Sebagian lagi menyewakan lahannya untuk tempat mencetak, menjemur dan membakar bata. Cara ini dianggap lebih menguntungkan. Dan kenyataan bahan baku – berupa tanah liat dari Desa Klumpit ini dianggap berkualitas. Maka mulailah banyak bermunculan pengrajin bata.
Itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan saat ini data acak yang didapat Dupanews.id mencapai ratusan. Disadari atau tidak ini berkembang menjadi sebuah usaha yang mampu membuka lapangan kerja baru.
Sebagai gambaran setiap usaha pembuatan bata ini minimal dibutuhkan dua tenaga kerja. Lalu membutuhkan bahan baku berupa tanah liat, bahan bakar brambut dan kayu. Kemudian masih harus ditunjang pemasaran yang konon kebutuhan bata semakin tahun semakin meningkat. Lalu dari kegiatan itulah munculah perputaran uang yang ternyata cukup besar- ratusan juta rupiah
Untuk seorang pengrajin dengan standar produksi 10.000 bata, harus memiliki modal untuk membeli sekitar 5 truk tanah liat. Harganya bervariasi antaranya Rp 250.000 – Rp 270.000 per truk. Lalu lahan untuk membuat, menjemur hingga pembakaran dengan sewa paling murah Rp 1-2 juta/ musim. Ditambah dengan pembelian bahan bakar lebih dari Rp 2- 3 juta. Masih harus mengeluarkan biaya untuk tenaga pembakaran. “Sedang untuk tenaga untuk memproses hingga mencetak bata umumnya kamis suami isteri atau dibantu anak yang menangani. Jika dikerjakan orang lain (mburuhke), sudah pasti kami tidak kebagian keuntungan” tutur sejumlah pengrajin bata yang ditemui terpisah.
Haruskah dimatikan ?
Dengan kondisi seperti itulah apakah pihak pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten-termasuk dinas instansi- jujur saja apakah sudah punya konsep matang. Misalnya pihak Dinas Pertanian dan Pangan, merombak lahan penambangan itu menjadi lahan pertanian produktif. Dengn cara membangun banyak sumur air dalam, sehingga menjadi sumber irigasi. Ini butuh biaya besar dan tidak serta merta dilakukan dalam waktu dekat.
Itu pun belum diperhitungkan dengan kondisi warga-petani apakah mau-bersedia untuk merubah pola kerja yang sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun lalu. Dari pekerjaan membuat bata menjadi petani atau buruh tani.
Jika tidak dirubah menjadi lahan pertanian beririgasi teknis ( sepanjang tahun terairi), apakah akan dirubah bidang usaha lain. Seperti peternakan hingga industri rumah tangga. Itu pun tidak mudah dan juga butuh biaya besar.
Nampaknya mas Hartopo selaku Bupati Kudus yang beberapa hari terakhir mengunjungi sektor pertanian, maka cobalah tengok industri rumah tangga pembuatan bata yang nyaris muncul di lahan lahan “non”irigasi di hampir semua wilayah Kecamatan. Apalagi jika dikaitkan dengan semakin maraknya alih fungsi lahan di Kota Kretek. Dari lahan pertanian ke “non” pertanian, yang luasnya sudah mendekati 10.000 hektar.
Palu yang diketok di Kantor Satpol PP tentang penambangan bata merah di Klumpit nampaknya amat serius untuk disikapi. Mumpung belum terjadi akibat buruk yang menimpa para pengrajin dan segenap keluarganya. (Sup)