Bebas

Pieter Jansz, Karya Injil Bahasa Jawa Dimakamkan di Kayuapu Kudus

Share

Kudus, Dupanews.id -Banyak diantara jemaat  tidak tahu jika Alkitab berbahasa Jawa  yang hingga sekarang masih digunakan (dibaca) sekitar satu juta  jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan ( GKSBS), adalah karya Pieter Jansz.

Ia termasuk  diantara 69 misionaris  yang bertugas di Jawa pada periode 1813 – 1900. Dalam  kamus besar Bahasa Indonesia, misionaris artinya orang yang melakukan penyebaran warta Injil  kepada orang lain  yang belum mengenal  Yesus Kristus.

Pieter Jansz, di sela-sela  tugas sehari-harinya  mewartakan Injil, sempat melanjutkan menterjemahkan Alkitab berbahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa, yang lebih dahulu dirintis misionaris Bruckner (bertugas mulai 1814 )dan Gericke ( bertugas mulai1827)..

Bukan sekedar menterjemahkan, tetapi  sekaligus membetulkan  tata-bahasanya .Proses penterjemahan tersebut dilanjutkan  anaknya yang bernama  PA Jansz “Karya bapak dan anak  itu boleh disebut sebagai bapak dari kitab suci perjanjian  lama dan perjanjian baru dalam bahasa Jawa yang hingga kini dipergunakan gereja-gereja di Indonesia yang berbahasa Jawa. Suatu kebanggan yang seharusnya tidak dilupakan  jemaat Mennonit di seputar Muria,” tulis Sigid Herusukotjo dan L.Yoder dalam bukunya Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ)

Selain itu Pieter Jansz juga menulis  dalam brosur berbahasa Jawa “ Wektune wus tekan. Keratone Allah wus cedhak dan Landontginning en Evangelisatie op Java (Pembukaan tanah dan kristenisasi di Jawa).

Serta sebuah brosur dalam bahasa Jawa juga, yang antara lain menuliskan dialog antara seorang beragama Kristen dan seorang beragama lain. Ia berusaha mengetengahkan ide bahwa Ratu Adil itu adalah Messiah atau Yesus Kristus.

Misionaris kelahiran  25 September  1820 ini menginjakkan kakinya  kali pertama di Jawa pada 1851 Meninggal pada 22 Maret 1904- atau dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di komplek pemakaman Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus (Jawa Tengah).

Makam yang terbuat dari bahan baku batu pualam warna putih tersebut “dipayungi” dengan cungkup( bangunan beratap di atas makam berfungsi sebagai pelindung). Di samping kiri terdapat makam sang isteri, Wihelmina Frederika Schmilau. Di bagian belakang terdapat empat papan nama yang ditulis dengan bahasa Jawa, Indonesia, Belanda dan Inggris. Nisannya masih cukup bagus dan selalu terawat bersih.

Menurut  brosur bertajuk “Jemaat Kayuapu  abad ke-19 dan awal abad ke-20”, yang ditulis Pendeta Karmito (2006),  Pieter Jansz, memang ditugaskan badan zending Doopsgezinde Zendings Vereeniging (DZV)  yang berkantor pusat di Nederland.(Belanda)

Sebelum berangkat  ke Indonesia , ia sempat kehilangan isteri tercinta yang meninggal pada usia muda. Kemudian belajar melalui buku pinjaman teman , kursus privat tentang ilmu bumi, sosial kebudayaan Hindia Belanda (Indonesia), bahasa Melayu dan bahasa Jawa  Khusus untuk memperdalam pengetahuan dan bahasa Jawa ia  dibimbing Prof Prasda.

Sedang untuk memperdalan teologia, Pieter Jansz  berpindah dari kota Delft ke Amsterdam. Selanjutnya mencari pasangan hidup dan  memilih JWF Sekmilau ( Schmilau).

Misionoris  ini beserta isterinya  kemudian  berangkat dari tanah air menuju Indonesia  dengan menumpang kapal layar  Gelderland, 8 Agustus 1851 dan tiba di kota Batavia (sekarang Jakarta) 15 November 1851.

Pada 23 November 1851, ia beribadah di Gereja Protestan (Gereja Negara) dan sempat  mengisahkan sebagian hidupnya dengan nada haru dan penuh tuntunan dari Tuhan. “Sungguh besar rahmat dan kebaikan Tuhan bagi kami. Tuhan sendiri yang telah membimbing kami melewati samodra yang demikian luas dan selamat sampai di Batavia” tuturnya.

Meski secara resmi telah ditugaskan DZV, ternyata tidak  mudah untuk mencari pekerjaan sebagai misionaris. Pieter Jansz pergi ke Banyumas, Tegal, Demak hingga Pasuruan (Jawa Timur).

Akhirnya merapat ke Jepara pada awal  1853, menjadi guru privat bagi anak-anaknya Markar Soekias. Golongan bangsawan keturunan Armenia, memiliki perkebunan tebu sangat luas dengan tenaga kerja sekitar 6.000 dan tentu saja kaya raya.

Sedang menurut Claude Guillot, dalam buku perdana yang memperoleh  penghargaan Prix Jeane Cuisinier (1981) dari Institut National des Langues et Civilsations Oriientales Paris, berjudul Kiai Sadrach, Riwayat Kritenisasi di Jawa, sebelum menetap di Jepara,pernah beberapa waktu tinggal di Semarang, di rumah Hoezoo, juga termasuk salah satu misionaris

 Namun ia dianggap kurang berhasil, bahkan dikatagorikan gagal dalam menjalankan misinya, karena dari segi jumlah hanya mampu membaptis 14, penduduk setempat dalam kurun waktu 1854- 1856,. Kalah bersaing dengan  penginjil lokal Kiai Tunggul Wulung.

 Tunggul Wulung sendiri, menurut C Guillot, lahir pada permulaan abad ke-19, di kawedanan Juwana  (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pati), dengan nama asli Ngabdullah. Pekerjaan sehari-hari petani.

Kemudian  meninggalkan desanya menuju Kediri (Jawa Timur), bertapa di Gunung Kelud selama 7 tahun dan menggati namanya menjadi Tunggul ( artinya lurus atau di depan) Wulung (artinya warna dasar ungu).

Ia memeluk agama Kristen, setelah diberi  pelajaran membaca, menulis, ajaran pokok  agama Kristen, sebuah kitab Perjanjian Baru  dari  misionaris Jellesma. Sempat bertemu dengan  Bruckner, Hoezoo , Anthing (Ketua Pengadilan Semarang) dan dibaptis  pada 1854., dengan nama baptis(permandian) Ibrahim.

Setelah Pieter Jansz meninggal,  penginjilan di seputar Jepara dan Kudus dilanjutkan anaknya yang juga dikenal sebagai misionaris maupun misionaris-misionaris lainnya , sehingga di seputar pantai utara Jawa Tengah bagian timur. Terutama di wilayah Jepara , Pati dan sebagian Kudus, dikenal sebagai kantung-kantung warga pemeluk agama Kristen beraliran mennonite.(Sup).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button