BebasBudaya

Kampung Adat Semliro dan Penyelamatan Lingkungan

Share

Kudus,Dupanews.id- Kampung adat Semliro diresmikan Bupati Kudus Jumat 6 Juli 2022. Dan menurut Kepala Desa (Kades) Rahtawu Rasmadi Didik Aryadi, Kampung Adat Semliro (KAS) akan segera ditetapkan melalui peraturan desa (Perdes).Saat ini masih terus diproses sembari melibatkan banyak pihak-terutama ahli di bidangnya. Ketika sudah menjadi perdes tidak ada ganjalan lagi,” tuturnya.

Dan jika perdes  KAS  sudah  ditetapkan, maka bakal menjadi sejarah bagi Kabupaten Kudus. Sebab baru pertama kalinya kabupaten yang berpenduduk 832.681 jiwa (data BPS 2020) dan terdiri  123 desa serta 9 kelurahan memiliki KAS.

Kampung adat atau kampung yang masih menerapkan adatnya sebagai landasan kehidupan sehari-hari atau berdasarkan sejarah turun-temurun dari para leluhur yang sudah ada dimasa sebelum masa kini.

Kampung adat merupakan sebuah komunitas tradisional yang memiliki fokus fungsi pada adat dan tradisi, serta merupakan satu kesatuan wilayah, dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu sistem budaya.

 Selain itu, kampung adat menerapkan adat yang berlaku sejak lama, untuk melestarikan nilai lokal budaya yang masih tersisa. Meskipun dalam perkembangannya masih bisa mendapat pengaruh dari luar, atas kebijakan masyarakatnya yang menerima kunjungan dari luar, dengan alasan keterbukaan masyarakat kampung adat terhadap orang asing yang berkunjung . Misalnya ke kawasan Kampung Naga Tasikmalaya (Jawa Barat) (Surpha 1994).       

Semliro sendiri adalah salah satu diantara empat pedukuhan yang ada di Desa Rahtawu yang memiliki lima rukun tetangga (RT). Dukuh lainnya meliputi Krajan ( 7 RT), Wetan Kali (8 RT), dan Gingsir  (5 RT).

Semliro merupakan pedukuhan yang berbatasan dengan Desa Tempur Kecamatan Keling Kabupaten Jepara. “Memiliki” Puncak Sanga Likur (29), yang berada  di ketinggian sekitar 1.500 – 1.600 meter di atas permukaan laut. Petilasan Gajah Mada Dan hutan lindung Bunton- sebuah hutan milik Perum Perhutani.Kondisinya hutannya masih cukup baik”.  tambah Kades Rahtawu.

Ketiga “harta” yang dimiliki warga Semliro itu dan bernilai tinggi dari segala aspek, semakin  banyak  dikunjungi warga. Tidak hanya dari Kudus sendiri-tapi juga banyak berdatangan dari luar kabupaten/provinsi. Terlebih setelah Desa Rahtawu ditetapkan sebagai salah satu diantara 28 desa wisata di Kabupaten Kudus.

Harta itulah yang harus dijaga, dilestarikan dan dikembangkan sesuai adat istiadat dan budaya warga setempat. Semua itu dirangkum secara tertulis dalam ketentuan KAS. “Sehingga tatkala KAS diberlakukan, maka alam akan tetap lestari. Kehidupan rakyat bakal tata tentrem karta raharjo- suatu keadaan wilayah yang tertib, sejahtera dan berkecukupan.” ujar Umar- salah satu tokoh utama penggagas dan sekaligus pengawal  KAS.

Eyang/Mbah Mada

Pada saat peresmian KAS dipusatkan di cungkup eyang Patih Gajah Mada/eyang buyut Modo . Dan Gajah Mada dikenal sebagai panglima perang dan mahapatih kerajaan Mojopahit. Lalu sebagai pencetus Sumpah Palapa dan prasasti Gajah Mada pada tahun 1351 yang  saat ini tersimpan di Museum Gajah di Jakarta . Serta masih banyak lagi cerita dan sejarah Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364.

Cungkup eyang Modo ini terletak di atas pemakaman umum . Untuk mencapai lokasi ditempuh dari depan Kantor-Balai Desa Rahtawu. Dengan naik mobil, atau motor selama sekitar  20  menit. Jalannya menanjak dan diselingi banyak tikungan tajam.

Di bagian depan ada  regol  dan di mukanya  ada sebuah warung, serta  lahan kecil ( hanya beberapa meter persegi) dan sebuah “kursi panjang” dari bahan bamboo.

Dari halaman dan depan regol tersebut, sebatas mata memandang terlihat sejumlah bukit bukit dari Gunung Rahtawu yang berketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut.

Sebelum memasuki cungkup, bangunan ini mirip dengan bangunan Masjid Agung Demak. Jika arsitektur bangunan  Masjid Demak “ bersap”( berudak) tiga, maka bangunan  di Eyang Modo ini hanya dua.

Keduanya menunjukkan akulturasi budaya lokal Jawa, Hindu-Budha, dan Islam : Atap tumpang mirip punden berundak, menunjukkan hasil budaya lokal prasejarah di Indonesia. Atap tumpang ganjil, sama dengan tingkat bangunan pura Hindu berjumlah 3-11 tingkat.

Selain itu, bentuk meru segitiga sebagai lambang persemayaman dewa dalam kepercayaan Hindu. Budaya Islam dilihat dari fungsinya sebagai tempat ibadah umat Islam . Patih Gajah Mada sendiri menganut  agama Saiwa  atau Siwa Budha.

Lalu ketika memasuki cungkup yang lebarnya sekitar 10 meter dengan panjang sekitar 30 meter ini, berupa ruang terbuka atau ruang tamu. Berlantai  keramik warna kecoklatan. Berdinding tembok bercat kuning dengan jendela kayu di kanan kiri,

Lalu terlihat  empat tiang kayu jati sebagai soko guru. Persis di bagian tengah, disekat dengan sebuuah pintu kayu berukir.  Di sebelah kanan pintu terlihat tulisan  Petilasan Eyang Patih Gajah Mada/ Eyang Buyut Modo . Di bagian atasnya terlihat ornament ukir berupa mirip dua ekor ular , namun  bentuk kepalanya berbeda.

Kemudian di bagian samping kiri pintu, nampak juga tulisan Romo Soeprapto Topeng Mas/ Begawan Mintorogo Sidik Pramono Jati. Di bagian atasnya juga nampak ornament ukir.

Sedang di atas pintu  terpasang lambang Garuda Pancasila dan diatasnya lagi ( tepi tembok ke liling dicat warna merah putih- lambang bendera pusaka Indonesia.

Setelah melewati pintu utama, kemudian masuk ke dalam  yang disekat dengan “ tembok “ kayu berukir- mirip dengan penyekat rumah adat Kudus. Di bagian pojok kana n ada sebuah papan nama “ tata tertib” tamu/ pengunjung , yang nampaknya masih bersifat sementara ( letaknya).

Setelah itu masuk ke  ruang utama cungkup. Di sini juga terdapat empat tiang utama dari kayu jati. Di atas lantai terlihat dua benda semacam nisan dari bahan keramik warna kehitaman.  Di bagian tengah masing masing “nisan” dipenuhi aneka jenis bunga. Khususnya  bunga mawar warna merah putih. Seuntai bunga sedap malam. Lalu terlihat pula sebuah /sebutir kelapa hijau yang bagian atasnya sudah dipangkas. Lalu ada sebuah bokor kecil tempat lilin , dupa atau kemenyan.

Lalu di dinding bagian belakang terlihat dua lukisan. Di bagian kanan lukisan Patih Gajah Mada dan di bagian kiri lukisan Romo SoepraptoTopeng  Mas/ Begawan Mintorogo  Sidik Pramono Jati. Di bagian depan lukisan terlihat sepasang bendera merah putih yang ditancapkan dalam tempat khusus.  Sedang seluruh tembok keliling  tertutup kain warna merah putih. Lalu di bagian tengah, terlihat sebuah payung warna hitam ukuran besar. Aneka bunga yang berada di ruangan ini memunculkan aroma wangi lembut.

Kemudian di belakangnya masih ada satu ruangan yang juga terdapat sebuah makam Ibu Sulastri- isteri romo Soeprapto Topeng Mas. Di atas nisan terdapat sebuah foto/lukisan ukuran besar.  Dan di seputar nisan juga banyak dijumpai aneka jenis bunga, sebutir kelapa hijau dan sebuah bokor kecil. Lalu  di atas nisan terlihat payung warna keemasan bermahkota tiga. Ruangan ini juga “diselimuti” kain warna merah putih, serta terendus bau harum wangi lembut.

Menurut sang jurukunci  yang akrap disebut Mbah Sutikno, komplek cungkup tersebut dibangun secara bertahap sejak enam tahun terakhir. Dan menurut rencana masih terus dilakukan berbagai pembenahan .  “ Sebagian besar peziarah yang rutin ke sini dari kerabat kraton Surakarta. Sedang yang menyangkut sejarah ketiga beliau (Patih Gajah Mada, Romo Soeprapto Topeng Mas dan Ibu Sulastri) saya belum bisa menjawab. Akan saya koordinasikan dulu dengan pihak yang berkompenten.” Tuturnya. Menurut laporan hasil penelitian Arkeologi di Pegunungan Muria Jawa Tengah tahun 1988, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi  Nasional Balai Arkeologi Yogyakarta : di Desa Rahtawu banyak ditemukan  petilasan yang dikeramatkan.(Sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button