Budaya

Selametan Labuhan, Sebuah Ihtiyar Cegah Bala’ Ala Desa Bungu Jepara

Share

Jepara, Dupanews.id – Tradisi selametan di Indonesia sangat banyak dan beragam caranya. Bentuk dan namanya pun berbeda sesuai sosial- budaya masyarakat setempat. Pada intinya, selametan bertujuan untuk menolak mara bahaya yang akan menimpa manusia.

Bahaya atau bala’ ini bisa berupa bencana alam, pagebluk dan lainnya. Di Desa Bungu, Kecamatan Mayong Jepara, tepatnya di Dukuh Pagir-Tumut, ada tradisi selametan labuhan. _Labuhan dari bahasa Jawa labuh. Terdapat tambahan an di belakang yang artinya datangnya musim penghujan atau peralihan dari musim panas ke musim hujan.

Memasuki musim hujan, banyak sekali hikmah yang diambil manusia. Terutama petani, musim hujan adalah waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Namun, adanya hujan, juga menjadi kewaspadaan bagi semua seperti kebanjiran dan longsor.

Baca juga : Unggah Ungguh Saat Ini Tidak Ditrapkan Dalam Keseharian

Di Dukuh Pagir-Tumut itu area pegunungan dan tebing-tebing tinggi. Jadi rawan sekali dengan bencana alam. Terkahir yang sangat mengejutkan, yakni longsor dan tanah retak terbelah di tahun 2014.

Warga sekitaran Pagir-Tumut terutama Gendon mengungsi ke rumah kerabat dekat mereka. Ini semacam bentuk teguran Tuhan melalui alamnya.

Oleh karenanya, penduduk disini selalu melaksanakan tradisi labuhan untuk meminta perlindungan Sang Maha Pencipta. Biasanya dilaksanakan pada hari Jumat Legi waktu musim labuh tiba.

Dalam tradisi labuhan ini, masyarakat akan menyembelih kambing sebagai sodaqohan. Sebelumnya, mereka secara sukarela iuran sebesar Rp15.000 per rumah. Tempat untuk pelaksanaan labuhan yakni berada di punden setempat. Punden tersebut diyakini sebagai makam cikal bakal dukuh Tumut bernama Mbah Jomblo.

Kambing akan diolah di depan makam Mbah Jomblo, selama pagi sampai siang. Jika sudah matang, masyarakat akan berbondong-bondong mendatangi makam itu untuk selanjutnya mengadakan ritual selametan.

Baca Juga : Tedak Siten atau Tradisi Mudun Lemah Sudah Langka
Acara akan dipimpin oleh tokoh masyarakat (Kiai) dengan membaca tahlil dan doa tolak bala’. Warga sekitar kemudian mengikuti dengan membawa nasi dan jajan-jajan dari rumah.

Begitu acara selesai, daging kambing yang dimasak tadi dibagikan ke warga yang ikut labuhan. Lalu dimakan bersama di tempat dan sebagiannya dibungkus plastik. Setelah itu, satu per satu warga akan diberi satu plastik olahan daging kambing untuk dibawa pulang dan dimakan keluarga di rumah. (Lim)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button