Bahasa Jawa Kudusan : Bojoem “Dialek Kudusan”
Kudus, Dupanews – Penulis buku “Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam”, Sholichin Salam , dalam bab pendahaluan sempat menyelipkan sedikit tentang bahasa Jawa dialek Kudus.
Seperti tidak dalam bahasa Indonesia, ora dalam bahasa Jawa dan dalam bahasa “kudusan” disebut orak. Kata wae dalam bahasa Jawa berubah menjadi ae. Lalu akhiran mu juga berubah menjadi em. Seperti dulurmu- dulurem, bojomu- bojoem, bapakmu- bapakem
Dialek kudusan lainnya antara lain : nduk menjadi ning (panggilan buat anak perempuan),nang (panggilan untuk anak laki-laki). Kemudian man – artinya paman , bi (bibi), kang (mas) yu (mbakyu). Mbokyai ( nenek ) dan makyai (kakek).
Lalu berdasarakan pendapat dan penelitian dari EM Uhlenbeck, WJS Poerwadarminta dan Hatley, berdasarkan dialek demografi terbagi menjadi ::Kelompok Barat” yaitu dialek Banten , Cirebon, Tegal, Banyumas..Tiga dialek terakhir biasa disebut basa banyumasan.
Kelompok Tengah: dialek Pekalongan, Kedu, Bagelen, Semarang, Pantai utara bagian timur (Rembang, Demak, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Jogjakarta, Madiun. Kelompok ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur: dialek Pantura Jawa Timur ( Tuban, Bojonegoro),Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi. Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Dialek temporal:
Berdasarkan dokumentasi tertulis, bahasa Jawa paling tidak memiliki dua variasi temporal, yaitu bahasa jawa kuno dan bahasa jawa modern. Bahasa Jawa Kuna sering kali disamakan sebagai bahasa Kawi. Meskipun sebenarnya bahasa Kawi lebih merupakan genre bahasa susastra yang diturunkan dari bahasa Jawa Kuna.
Bahasa Jawa Kuna dikenal dari berbagai prasasti serta berbagai “kakawin” yang berasal dari periode Medang atau Mataram Hindu sampai surutnya pengaruh Majapahit (abad ke-8 sampai abad ke-15).
Bahasa Jawa Modern adalah bahasa dikenal dari literatur semenjak periode Kesultanan Demak (abad ke-16) sampai sekarang. Ciri yang paling khas adalah masuknya kata-kata dari bahasa Arab, Portugis, Belanda dan Inggris..
Register (undhak-undhuk basa)
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific).
Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Contoh ::Bahasa Indonesia “Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?”. Jika diterjemahkan dengan bahasa Jawa ngoko kasar menjadi : “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’.
Bila ngoko halus menjadi: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?” Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri).
Jika dalam bahasa madya menjadi: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” Dalam madya halus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundit Dalam krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem ‘kepunyaanmu’. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa) Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi? Dan krama alus”Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” ( Sup)