KudusSejarah

Sunan Kudus Lebih Dahulu Mengajarkan Toleransi

Share

Kudus, Dupanews.id – Hari Toleransi Internasional diperingati setiap tanggal 16 November tiap tahunnya. Hari Toleransi Internasional merupakan salah satu kesempatan untuk merayakan keragaman dan toleransi.

Harapan adanya hari Toleransi Internasional sendiri untuk menciptakan kesadaran tentang prinsip-prinsip toleransi, menghormati budaya, kepercayaan, tradisi orang lain.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : toleransi berasal dari kata toleran. Artinya bersifat atau bersikap menenggang ( menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian ( pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan  dengan pendirian sendiri.

Namun  jauh sebelum Hari Toleransi Internasional itu  dicanangkan, Sunan Kudus

ternyata sudah lebih dahulu mengajarkan tentang toleransi.

Menurut Lembayung Radianty Ammanda : Mahasiswa Semester 2 Program Studi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta :

Nama Sunan Kudus di ambil dari kata “Kudus” yang memiliki makna sifat Kudus. Sunan Kudus mengajar para santri tentang ilmu rohaniah namu masih bagian luarnya saja, tidak mengajarkan secara mendalam. Karena melihat tingkatan keimanan masyarakat belum begitu kuat.

Sunan Kudus juga mengajarkan bagian ilmu tauhid dan bagian lainnya yang juga disampaikan oleh Sunan Kalijaga. Sedangkan Sunan Kalijaga memiliki makna bahwa Sunan yang berarti susunan kalimat syahadat sedangkan Kalijaga berarti akalnya agar tidak lupa dan imannya harus dijaga.

Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa terlebih dahulu terpengaruh dengan ajaran Hindu Budha. Ajaran Hindu memproritaskan keindahan dunia, melestarikan adat dan kebudayaan alam semesta. Sedangkan ajaran Budha memiliki makna yang membahas tentang tindak tanduk tingkah laku budi manusia yang harus luhur.

Dalam ajaran Hindu, sapi dianggap sebagai hewan suci. Sapi dalam ajaran agama Hindu bermakna diresapi menuju perbuatan kecil yang suci. Setiap manusia yang menjalani kehidupan di dunia ini harus bisa hidup bersosialisasi dalam masyarakat pada umumnya.

Sebelum menjalani tingkah perilaku di tempat duniawi. Setiap perbuatan jika ditemukan sebuah benturan kehidupan duniawi harus diyakini dan dimaknai serta diresapi dalam menuju akal pikiran yang sehat.

Sunan Kudus dalam menyebarkan ajaran agama Islam di Kudus menggunakan ajaran Islam syari’at, karena penyebarannya sangat cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Adanya kepercayaan bahwa media sapi yang dianggap sebagai hewan suci oleh agama Hindu, membuat Sunan Kudus mempunyai keyakinan dan prinsip untuk menghargai sebuah keyakinan tersebut.

Sebelum menyebarkan ajaran agama Islam Sunan Kudus menghimbau agar masyarakat tidak menyembelih hewan sapi sebagai bentuk toleransi kepada agama Hindu. Menyembelih sapi boleh diyakini untuk titis regenerasi yang memiliki keyakinan agar tidak menyembelih hewan ternak untuk kelanjutannya. Tetapi diperbolehkan dalam menyembelih sapi itu bagi titis regenerasi yang memiliki keyakinan kepada Allah SWT.

Menurut Peter Berger dalam teorinya membahas perbedaan budaya yang secara kontras pada suatu lingkungan masyarakat. Misalnya perbedaan dalam sikap keagamaan penduduk

Peter Berger juga mengamati ritual dan simbol, dimana ritual dan simbol akan menciptakan komunitas yang memiliki solidaritas sosial secara spontan dan tidak terstruktur. Maka dari itu, dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Kudus, Sunan Kudus menekankan nilai toleransi atau dikenal sebagai “tepo sliro” yaitu ajaran toleransi beragama. Sebagaimana agama Islam mengajarkan sebuah toleransi antar umat beragama dan antar etnis. Karena sebuah toleransi sangat penting agar untuk menghindari sebuah konflik antar agama dan konflik antar etnis dan ras.

Sebuah kesadaran akan pluralisme dapat berkembang di kalangan masyarakat untuk hidup rukun dan hidup saling berdampingan bersama meskipun berbeda etnis dan berbeda agama. Sikap toleransi dapat menimbulkan dasar semangat dalam menjalankan kehidupan sosial yang sesuai dengan ajaran Sunan Kudus. Yaitu hidup yang toleran terhadap umat beragama lain.

Ajaran toleransi yang berawal dari himbauan tidak menyembelih sapi oleh Sunan Kudus, dikarenakan adanya kultur Hindu yang mendominasi pada masa Islamisasi.

Pluralisme juga sebagai sunnatullah yang harus dijaga dan dipelihara. Contohnya seperti masyarakat Kudus dengan sosok Sunan Kudus menjadi salah satu simbol pluralisme yang tidak dapat dipisahkan sebab tatanan obyek menjadi fakta sosial. Jadi terbentuknya Islam yang mengerti arti toleran dan ramah mampu mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang paham dan sadar akan pentingnya kerukunan serta terbebas dari konflik yang berlatarbelakang agama. Sementara itu menurut :  Buku: Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter Bangsa Penulis : Nur Said Penerbit : Brillian Media Utama, Bandung & Sanggar ‘Menaraku’, Kudus Cetakan : Pertama, 2010 Tebal : xxviii + 260 halaman Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih* Akhir-akhir ini, ‘dakwah’ yang dibungkus melalui kekerasan berkedok ‘jihad’ kembali mencuat. Mulai dari tindak kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah, penyerangan tempat ibadah agama lain, sampai aksi teror bom.

Padahal Islam telah mengajarkan untuk bertoleransi dengan kepercayaan lain. Dakwah melalui pendekatan humanis seperti lewat kesenian, pendidikan, dan kebudayaan pastinya akan menghasilkan sikap toleransi yang tinggi. Prinsip-prinsip toleransi seperti di atas dalam artian berdakwah dengan tetap menghormati keyakinan orang lain rupanya telah dipraktikkan oleh penyebar Islam di wilayah Kudus pada abad XV. Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa.

Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran. Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini. Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga.

Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu. Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci.

Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk  bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau. Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi. Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu.

Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark  Kabupaten Kudus. Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.(Sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button