SejarahWisata Religi

Kiai Telingsing Guru Sunan Kudus Asal Cina

Kiai Telingsing Guru Sunan Kudus Asal Cina

Share

KUDUS, Dupanews – Kiai Telingsing menurut penulis buku Kudus Purbakala Dalam Perjalanan Islam, Sholichin Salam (cetakan kedua 1976), adalah guru dari Sunan Kudus. Termasuk salah satu tokoh tua yang mengemudikan kota Kudus, sebelum Sunan Kudus.
Kiai Telingsing inilah yang kemudian menunjuk Sunan Kudus sebagai gantinya. Akan tetapi menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa di Kudus, Kiai Telingsing adalah seorang Tionghoa yang beragama Islam. “Rupanya beliau seorang pemahat dan seniman terkenal . Nama Telingsing oleh mereka diartikan sebagai nama Tionghoa dari perkataan The Ling Sing,” ujar Sholichin Salam.


Tapi menurut HJ De Graaf dan TH Pigeaud dalam bukunya Kerajaan Islam di Jawa ( terbitan Grafitipers 1985, halaman 116) yang mengutip ceritera Knebel, ada empat orang bersaudara yang bernama Telingsing dan ingin mendapat bantuan Sunan Kudus dalam mengolah tanah mereka yang masih bera (tandus) Tapi ceritera itu Cuma sepotong, sehingga tidak diketahui apakah permintaan empat bersaudara Telingsing tersebut dipenuhi Sunan Kudus.


Sedang berdasarkan penuturan jurukunci makam Kiai Telingsing , Munawir, ’Kiai Telingsing adalah ulama besar yang mensyi’arkan Islam di Kudus. Beliau putra Sunan Sungging, warga Arab yang pernah tinggal di Kudus, namun kemudian berkelana ke Tiongkok dan akhirnya menikah dengan perempuan dari negeri ini. The Ling Sing lahir dari buah perkawinan Sunan Sungging dengan perempuan Tiongkok
Ia menambahkan Kiai Telingsing merupakan salah satu sosok yang sangat berjasa dalam dakwah Islam di Kudus.’Mbah Telingsing itu ulama besar. Tamu yang datang pun berasal dari berbagai kalangan. Tak hanya mereka yang memeluk Islam, tetapi banyak juga warga keturunan Tionghoa baik yang menganut ajaran Kristen, Kong Hu Cu, maupun Budha, datang berziarah ke sini,” tutur Munawir.

makan Kiyai Telingsir Tempo Dulu


Terlepas dari buku dan ceitera juru kunci tersebut, yang pasti makam Kiai Telingsing berada di Desa Sunggingan Kecamatan Kota Kudus. Atau sekitar 1,5 kilometer selatan komplek Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus yang berada di Desa Kauman.
Menurut hasil penulusuran ahli sejarah, Sancaka Dwi Supani, bangunan asli makam Kiai Telingsing dari bata merah kuno berukuran besar, dengan sistem gosok tanpa perekat (semen). Hal ini sama dengan bahan dan tehnik yang ditrapkan di bangunan Masjid Menara.


Kemudian di luar makam (nisan) dibangun bangunan baru, namun tembok lama tetap dipertahankan karena telah ditetapkan sebagai cagar budaya. “Panjang makamnya 1.296 centimeter, lebar 12 centimeter dan tinggi nisan mencapai 48 centimeter. Di samping belakang bangunan terdapat sebuah pohon yang cukup tinggi , berdahan rindang dan tergolong pohon langka serta berumur ratusan tahun,” ujar Sancaka.


Jurukunci Munawir menambahkan, makam Kiai Telingsing dan makam di komplek ini pada tahun 2005 pernah dipugar dengan biaya sepenuhnya ditanggung Agus, salah seorang warga Desa Sunggingan.“ Seluruh makam yang ada di komplek makam Kiai Telingsing digusur semua dan diganti seragam dengan makam dari bahan baku bata merah dan ketinggiannya sama antara satu dengan lainnya.

Khusus untuk makam Kiai Telingsing, isteri dan kedua anaknya dibuatkan cungkup, tetapi letaknya berubah. Saya tidak kuasa untuk melarangnya,” ujarnya.
Setelah dipugar justru muncul berbagai keanehan yang menimpa Agus beserta “kroni-kroninya”. Antara lain Agus sendiri seluruh harta kekayaannya yang semula melimpah melimpah ruas, ludes dan tinggal menyisakan satu rumah. Sedang yang lainnya meninggal dunia secara mendadak.


Pemugaran tersebut dipastikan melanggar undang undang (UU)nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya (BCB). Namun pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dibudpar) Kabupaten Kudus sampai sekarang belum bertindak, karena berbagai pertimbangan.


Terutama bila dikaitkan dengan saat pemugaran berlangsung, belum ada sosialisasi tentang BCB. Termasuk belum ada penetapan secara resmi makam Kiai Telingsing sebagai BCB. “Memang dari sisi kebersihan, kerapian jauh lebih baik, namun nilainya boleh dikatakan tidak ada samasekali. Beruntung sebagian tembok makam tersebut yang terbuat dari bata merah dan semuanya masih asli bisa diselamatkan. Kami memang berniat untuk mengembalikan sesuai aslinya,’ tambah Sancaka Dwi Supani.(sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button