Kudus,Dupanews- Lucu, aneh, Alun Alun Simpang Tujuh Kudus “dibikin pasar malam”. Harusnya alun alun tersebut dijaga kewibawaannya. Apalagi diseberang baratnya berdiri Masjid Agung . “Kembalikan fungsi alun alun sebagai pemersatu masyarakat. Mosok alun-alun dibikin pasar malam” ujar Kharirotus, salah tokoh wanita di Kudus, Rabu ( 8/3/2023) mengomentari kondisi terkini Alun Alun Simpan Tujuh, yang dipersiapkan dalam acara tradisional Dandangan.
Selain dibangun tenda –tenda berbentuk sama dan berwarna putih, juga siap dioperasikan sejumlah bentuk permainan berjenis hiburan. Seperti komedi putar, bianglala/ kincir besar, ombak banyu dan sebagainya. Jenis hiburan seperti ini biasanya berlangsung pada pasar malam di acara Sekatenan di Jogja dan Solo, Dugderan Semarang , Grebeg Besar Demak dan sebagainya.
Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat di Kudus lainnya juga mempertanyakan kepada Bupati/Pemerintah kabupaten/Pemkab, yang mengijinkan adanya kegiatan tersebut di dalam Alun Alun Simpang Tujuh. “ Ini kesannya seperti mencari uang recehan saja dan tidak punya perencanaan yang matang. Asal-asalan saja tanpa memperdulikan terancamnya kerusakan alun alun, yang beberapa kali dibangun- ditata ulang dengan “uang rakyat” yang begitu besar.”.
Menurut Handinoto Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra , setiap orang yang berkeliling ke kota-kota di P. Jawa mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur pasti menjumpai alun-alun pada pusat kota lamanya.
Konsep penataan alun-alun pada kota-kota di Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak jaman prakolonial dulu. Jadi alun-alun sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di P. Jawa. Hal ini penting mengingat sekarang kita sedang dilanda krisis identitas baik dalam bidang arsitektur maupun perencanaan kota
Setelah kemerdekaan, alun-alun masih menjadi unsur yang cukup dominan di kota-kota Kabupaten sampai sekarang. Pada jaman pra kolonial antara alun alun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan wujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos (kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis.(Sup)