Kudus, Dupanews.id – Sampai dengan Kamis siang (4/11/2021), belum juga terbentuk Paguyuban Pengrajin Bata ( bata merah, batu bata) di Desa Klumpit Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Padahal sesuai hasil rapat koordinasi per 19 Agustus 2021, diantaranya memutuskan : Untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan usaha para pengrajin bata desa setempat, perlu dibentuk Paguyuban pengrajin batu bata sebagai wujud kearifan lokal yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan desa (Perdes).
Rapat koordinasi yang berlangsung di Kantor Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) dihadiri unsur pimpinan kepolisian sektor (Polsek), komando rayon militer (Koramil), Kecamatan Gebog, Kepala Desa dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Klumpit, sejumlah pengusaha galian C dan tokoh masyarakat.
Kepala Desa Klumpit Subadi yang ditemui di ruang kerjanya membenarkan hal tersebut. Meski pihaknya sudah menggelar sosialisasi- khususnya kepada para pengrajin “Saya akan coba lagi dan kenapa sampai sekarang belum terbentuk, Memang baru pemasangan papan nama larangan melakukan aktivitas galian tanah ( galian c)” ujarnya.
Dia menambahkan, setelah paguyuban terbentuk, dia bermaksud untuk mengajak pengrajin bata agar menjalankan usahanya di lokasi yang berdekatan dengan bahan bakunya. Ada sekitar 70 pengrajin dan usaha ini termasuk usaha turun temurun.
Keberatan
Sejumlah pengrajin bata yang ditemui terpisah pada umumnya menyatakan keberatan untuk membentuk Paguyuban. Dengan alasan membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan justru akan membuat harga bata lebih mahal. Sebab paguyuban itu butuh biaya operasional yang ujung ujungnya dibebankan kepada anggota.
Selain itu akan sulit tercapai jika setiap pengrajin diharuskan berusaha berdampingan atau berdekatan dengan bahan baku ( tanah liat/tanah lempung). Mengingat sebagian besar pengrajin membeli bahan baku dari pemilik lahan dan juga harus menyewa lahan untuk proses produksi, pembakaran, hingga tempat jemuran.
Para pengrajin juga mengeluh, karena pihak pemerinatahan desa hingga tingkat kabupaten tidak memberikan solusi konkrit. Hanya terbatas pada wacana saja. Mereka juga mengaku tidak/belum merasa adanya sosialisasi tentang akan dibentuknya paguyuban.
Selain itu sejak ditutupnya areal golongan C , para pengrajin kesulitan untuk memperoleh bahan baku. Jika toh ada bahan baku harus didatangkan dari daerah lain dengan harga jauh lebih mahal.(Sup)