Bu Ning, RTnya Pemulung dan Pengamen
Kudus, Dupanews.id – Namanya sederhana Paningsih atau biasa dipanggil Bu Ning. Perempuan yang sudah berumur 59 tahun dan berperawakan gemuk ini sejak tiga tahun terakhir dipercaya sebagai Ketua Rukun Tetangga (RT) 02/RW 02 Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus.
Sebagian besar warganya yang berjumlah 105 kepala keluarga (KK) atau sekitar 300 jiwa ini, berprofesi sebagai pemulung dan pengamen. Seluruh pemulung terdiri para pria yang umumnya mencari-memungut barang bekas dari berbagai tempat di kota Kudus. Tapi ada beberapa yang sudah jadi juragan.”Sedang yang ngamen ada pria dan ada wanitanya. Mereka umumnya ngamen di bus bus. Dulu jumlah warga mencapai sekitar 140 KK, tapi ada yang telah meninggal dan ada pula yang pindah ke tempat lain” tutur Bu Ning, yang ditemui Dupanews.id di komplek pe-rumah-an sangat sederhana (RSS) .
RSS ini dibangun Pemkab Kudus pada tahun 1994/1995.
Bu Ning yang asli Semarang ini, berlatar-belakang memelas. Ia terpaksa banting tulang sendiri untuk menghidupi ke lima anaknya- Dua putri dan dua laki-laki. “Saat anak anak masih di sekolah dasar saya sudah ditinggal suami saya Sutrisno. Saya sempat ikut membantu di salah satu warung di dekat rumah sakit umum Mardi Rahayu Kudus Menjadi pembantu rumah tangga seorang pensiunan Jaksa di Semarang. Sempat merantau ke Jakarta bekerja di rumah orang asing. Lalu kembali ke Kudus” ujarnya tegar.
Menempati RSS yang aslinya bukan milik pribadi. Tapi milik warga setempat yang disewa, kemudian dibeli dengan harga Rp 2 juta. Sampai sekarang- atau selama sekitar 27-28 tahun belum pernah direnovasi , sehingga layak jika rumah ini dibedah dengan biaya dari Pemkab Kudus.
Rumah tersebut sebenarnya berukuran 4x 4 meter dengan luas tanah 7 x 9 meter. Bu Ning menambah bangunan ala kadarnya untuk kamar mandi WC di bagian belakang. Dan emplek emplek samping kanan depan. Lalu mengganti lantai semen dengan keramik warna putih.
Di bagian depan-emperan terlihat tuga buah kursi tua. Jjuga nampak gantungan jemuran. Sedang di bagian dalam terlihat dua kursi, satu meja kecil. Rak- almari, TV dan kulkas dua pintu. Serta beberapa buah galon air, serta sebuah kamar yang nampak tertutup korden. “ Semula saya sendirian, tapi sejak munculnya Covid-19, anak ketiga saya perempuan dan seoarang cucu yang bekerja di Jakarta kembalike Kudus menemani saya. Dia membuka warung sederhana di depan itu “ tutur Bu Ning sambil menujukkan warung anaknya yang berada beberapa meter dari rumahnya.
Sedang Bu RT sendiri bekerja di salah satu koperasi di luar Desa Hadipolo yang antara lain menyediakan ketering. Dilakoni setiap pagi dan sore dengan naik motor. Semula ia digaji Rp 400.000 per bulan dan sekarang sudah meningkat jadi Rp 700.000. per bulan.
Lalu ada tambahan penghasilan selaku Ketua RT, sebanyak Rp 2 juta per tahun, tapi riil yang diterima hanya Rp 1,8 juta dan diberikan setahun sekali. “Ya itu saja honor dari pemerintah yang saya terima. Itupun sebagian saya bagi untuk empat anggota pengurus RT. Sedang bentuk bantuan lainnya saya samasekali belum pernah diberi. Mungkin saya dianggap orang kaya ya. Padahal kenyataannya bertolak belakang “ ujarnya sembari tertawa.
Namun demikian Bu RT ini menyatakan bersyukur, lima anaknya sudah berkeluarga semua dan menghasilkan 13 orang cucu. “Meski anak saya semua hanya mengenyam pendidikan hingga SMP saja. Saya pun hanya lulusan sekolah dasar dan saya juga menikah muda- pada usia 15 tahun. Saya juga heran ketika saya dipilih menjadi ketua RT”
Galak?
Bu RT ini di mata warganya dikenal galak, tegas, berani dan apa adanya.”Awalnya memang agak susah . Terutama menghadapi sebagian warga yang masih suka mabuk-mabukan dan tindakan kurang terpuji lainnya.Bahkan saya sempat “ditantang”, tapi semuanya saya hadapi dengan sabar.” tambahnya.
Bu Ning setiap malam- mulai pukul 24- selalu rutin patroli keliling perumahan. Seorang diri dengan membawa lampu senter. Hujan pun dilakoni dengan membaya payung atau jas hujan Dan tidak ada rasa takut. Jika ada sesuatu yang tidak beres, saya pun selalu memperingatkan- menegur- jika perlu saya bertindak tegas.” ujarnya lagi.
\Selain itu dalam setiap pertemuan- aneka kegiatan tingkat RT- RW hingga tingkat desa ia selalu menghadiri. Selain mengetahui banyak hal atau informasi dari luar RT, ia sebaliknya juga memberikan informasi perkembangan terkini tentang kondisinya warganya. Saya selalu membela habis-habisan atau paling tidak memberikan info yang benar.
Terutama sampai sekarang masih ada warga yang beranggapan semua warga di perumahan ini melakukan tindakan tidak terpuji. Mengingat latar belakang penghuninya yang semula berasal dari Pondok Sosial yang berada di Desa Demaan Kecamatan Kota Kudus. Umumnya mereka terdiri para gelandangan, pengemis, pemulung dan sebagainya. Atau cap yang serba jelek lainnya. Itu awalnya memang demikian, tapi lambat laun mengalami banyak perubahan. Jadi sekarang warga kami tidak neka-neka lagi.
Meski demikian masih tetap ada persoalan yang mengganjal dan Bu Ning merasa tidak mampu untuk mengatasinya. Yaitu menyangkut keberadaan lapangan olahraga yang beralih fungsi menjadi “gudang rongsok” – barang bekas milik sejumlah warganya.
Ia sudah beberapa kali memperingatkan dan bahkan sudah dilaporkan ke pihak Pemerintahan desa (Pemdes) Hadipolo, tapi sampai saat ini yang bersangkutan masih membandel. “Selain memang untuk kegiatan olahraga, lapangan itu juga bisa dimanfaatkan banyak hal demi kepentingan warga kami sendiri” ujar Bu Ning. Lapangan itu sendiri tidak terlalu luas. Berada di depan masjid setempat. Dan sebagian diantaranya- yaitu di sisi utara terlihat tumpukan karung karung yang berisi aneka bekas barang rongsok. Selain itu disamping kanan depan masjid juga terlihat tanah lapang.(Sup)